Lihat ke Halaman Asli

Solo Solitude

Diperbarui: 22 Oktober 2021   22:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Petang yang tergolong lisut itu, kudengar nyanyian keheningan tepian jalan,

Di sela tubuh-tubuh lusuh berpakaian kusut,
Tempat seorang bocah kecil pemilik tong-tong sampah
Menggelar gelak tawa dan simphony kehidupan,
Gegap gempita  di antara malaikat-malaikat peratap - bila mungkin,
Tangisannya mengobati luka jiwa yang terpidana penderitaan.

Hidup ini adalah darah yang mengalir dan kematian yang mengerut keras.
Menatap sumpeknya kekejaman manusia, di atas bumi yang tak seperti di dalam surga,
Ketika rahimnya yang sangat kucintai, sudah membunting kejahatan
Orang-orang saleh telah ludes terbakar api kebencian,
Orang-orang kudus telah melenyap.

Hilir mudik petikan dawai kebringasan tanpa henti,
Menggenangi sudut-sudut jiwa-menjingkrak di celah-celah batin,
Menggerayangi bilik-bilik jantung -menghembus nafas petaka.
Riwayatnya menjadi padang gurun penebah duka lara,
Tempat hidup mengalami nasib buruk.


Akhirnya, makna-makna  kehidupan tertumbang tak menentu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline