Lihat ke Halaman Asli

Aku (bukan) Anak Petani

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada waktu itu, saya diminta menjadi narasumber sosialisasi pembuatan kompos hasil pengolahan sampah di sebuah sekolah menengah di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat.Sebagai awal komunikasi, saya menanyakan kepada peserta yang semuanya adalah murid sekolah menengah tersebut, “Siapa di antara kita di sini yang orang tuanya adalah PETANI?”.Apa jawaban yang muncul? Ternyata tidak satu pun di antara peserta yang mengacungkan tangannya.Mungkin kah memang tidak ada anak seorang petani yang sekarang belajar di sekolah tersebut? Sebenarnya pertanyaan ini sering saya tanyakan kepada anak-anak lain di beberapa tempat.Hampir semua jawaban sama, TIDAK ADA.

Ada dua kemungkinan penjelasan dari jawaban tersebut, pertama ; memang tidak ada anak seorang petani yang sekolah di sekolah menengah bermutu, kedua; mereka MALU menjadi anak seorang PETANI. Kedua kemungkinan tersebut menurut saya adalah IRONI. Untuk kemungkinan pertama, alangkah sangat menyedihkan kalau memang anak seorang petani tidak dapat bersekolah di sekolah yang bermutu yang mungkin disebabkan karena memang biaya pendidikan sekarang yang cukup tinggi dan kemungkinan bahwa sekolah sekarang ini lebih memprioritaskan anak-anak dari kalangan ekonomi yang lebih mapan untuk mengharapkan kontribusi biaya yang pada waktu sekolah berjalan dapat dipungut dengan berbagai alas an sekolah.

Sedangkan untuk kemungkinan jawaban kedua, alangkah durhakanya seorang anak tidak mengakui orang tua mereka hanya karena mereka malu untuk menjadi anak seorang petani.Ada beberapa alasan kenapa seorang anak malu dengan status orang tua mereka sebagai petani.Pertama, petani cenderung dinilai dari kalangan ekonomi rendah dan kecenderungan gengsi anak sekolah sekarang yang lebih pada gengsi materialistic.Kedua, petani cenderung dinilai kumal dan kumuh.Dengan kecenderungan itu mereka malu untuk dimasukkan ke dalam komunitas yang kumal dan kumuh. Ketiga, penilaian bahwa anak petani tidak mempunyai kemampuan yang baik dalam bersaing juga menjadi alasan kenapa mereka tidak mengakui bahwa orang tua mereka adalah petani.

Kalau generasi sekarang melihat pertanian sebagai bidang yang tidak menjanjikan baik secara profesi maupun secara gengsi, bagaimana nasib pertanian kita ke depan???

Rasanya, dengan hutang budi kita semua terhadap bidang yang memberikan pangan kepada kita setiap hari, adalah sangat dibutuhkan perhatian kita semua terlepas apapun latar belakang kita dengan bentuk apapun selagi itu adalah perhatian nyata yang positif..Kalau tidak, maka kita harus siap-siap untuk ‘berperang’ dalam memperebutkan bahan pangan untuk menyambung kelangsungan hidup kita kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline