Lihat ke Halaman Asli

Bubarkan Sekolah Kedinasan !!!

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Layaknya tabuhan gong besar di tengah malam, Moratorium PNS menjelma menjadi mimpi buruk banyak pengejar mimpi PNS baik yang ada di Sekolah kedinasan maupun mereka yang tengah menunggu sebagai pegawai honorer dibanyak instansi pemerintah. Bagaimana tidak lewat moratorium PNS terjadi pembatasan pengangkatan PNS diseluruh instansi pemerintah baik pusat maupun daerah terkecuali beberapa profesi yang dianggap jumlahnya masih kurang diantaranya tenaga pendidik dan tenaga kesehatan.

Mungkin sudah tidak menjadi sebuah pertanyaan besar apa kiranya yang melatar belakangi keluarnya kebijakan moratorium PNS. Carut marutnya tata kelola sumber daya manusia di pemerintahan menjadi salah satu alasannya. Hal ini jelas terefleksi lewat stigma masyarakat akan PNS yang korup, malas, tidak produktif dan pelayanan yang asal-asalan.

Yang kedua, alasan mengapa kebijakan pembatasan penerimaan PNS adalah inefisiensi. Baik yang terkait dengan kinerja maupun yang terkait dengan anggaran. Inefisiensi kinerja PNS erat kaitannya dengan perkembangan teknologi saat ini dimna proses kerja manusia mulai tergantikan oleh aplikasi-aplikasi IT yang bukan saja mempercepat proses kerja tetapi juga memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi.Hal diatas jelas berdampak pada spesifikasi PNS khususnya mereka yang ada di tataran pelaksana.Dahulu mereka yang berada dalam tataran pelaksana hanya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan teknis namun karena adanya invensi dari teknologi mereka juga diminta untuk mampu menggunakan daya nalar/kemampuan analisis terhadap segala permasalahan yang mungkin hadir dalam proses pelayanan kepada masyarakat. PNS yang tidak mampu memenuhi spesifikasi analisis ini kedepannya tak lebih hanya menjadi beban negara karena aplikasi-aplikasi IT cepat atau lambat akan menggantikan mereka yang bekerja hanya dalam tataran teknis. Istimewanya kebijakan moratorium PNS juga menjanjikan peningkatan kinerja birokrasi secara significant karena mempersempit formasi yang artinya kerja akan semakin padat sehingga jelas meningkatkan produktifitas.

Dari sisi anggaran, efisiensi / penghematan anggaran sampai sebesar 41.48 %. Dalam RAPBN 2012, biaya Birokrasi diperkirakan mencapai 80.43% yang sebagaian besar adalah untuk biaya belanja aparatur. Artinya hanya kurang dari 20% anggaran yang dialokasikan untuk pelayanan masyarakat. Lewat kebijakan moratorium PNS pemerintah dapat menghemat hingga 3.2 T (sumber: Republika) untuk dialihkan menjadi biaya pelayanan hal ini sejalan dengan teori efektifitas anggaran publik yang kita pelajari dalam disiplin ilmu public finance.

Kebijakan moratorium PNS juga merupakan konsekuensi langsung dari reformasi birokrasi yang dengan lantang diteriakaan oleh pemerintah.Jelas, permasalahan gemuknya formasi karena lemahnya tata kelola sumber daya manusia di pemerintahan, inefisiensi kinerja dan bocornya anggaran merupakan wajah suram birokrasi di negeri ini yang memang harus segera dibenahi atau akan menjadi kanker stadium akhir yang dapat mengantarkan negeri ini ke ujung usianya.

Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang merasakan dampak langsung dari diberlakukannya kebijakan moratorium ini?  menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) pasca moratorium desember 2012 tidak ada lagi jalur penerimaan selain tes CPNS resmi bahkan beberapa daerah dilarang melakukan penerimaan tenaga honorer. Lantas bagaimana dengan sekolah kedinasan dan tenaga honorer yang sudah bekerja di instansi pemerintah ?

Jelas, Sekolah kedinasan akan menjadi tumbal dari kebijakan moratorium ini namun sebelum kita menganalisis lebih jauh coba kita telaah ulang fungsi dan tujuan sekolah kedinasan sebagai supplier tetap Sumber Daya Manusia di Instansi Pemerintah/PNS. Menurut penulis, telah terjadi subordinasi dari fungsi Sekolah Kedinasan kini. Awalnya, spirit dibentuknya sekolah kedinasan adalah untuk menyiapkan tenaga terampil siap pakai di instansi pemerintah karena minat dari lulusan perguruan tinggi negeri maupun swasta yang rendah untuk mengabdikan diri di instansi pemerintah hal ini cukup beralasan karena dulu PNS selalu dihadapi oleh permasalahan kesejahteraan yang kurang memadai dan pembatasan hak-hak politisnya-sebagaimana kita tahu di zaman orde baru PNS harus tunduk dalam 1 komando-.

pasca reformasi dan kebijakan reformasi birokrasi diterapkan segera mentransformasi PNS menjadi profesi “satu tingkat dibawah malaikat”-mengutip tulisan eka madya sari dalam novelnya- karena tidak saja mampu memberikan kesejahteraan yang cukup namun juga memberikan status sosial yang cukup terpandang dimasyarakat.

Meroketnya profesi PNS juga dipengarui oleh faktor eksternal diantaranya tingkat persaingan di pasar tenaga kerja terdidik semakin ketat antara lulusan Perguruan tinggi negeri dan sekolah kedinasan ditambah instabilitas politik dan keamanan yang masih cukup rawan hingga mempengaruhi iklim investasi di negeri ini yang rawan akan capital flight.

Lantas kini masih adakah urgensi dari sekolah kedinasan ? jika kita coba mengulik lebih dalam mengenai epistomologi dari pendidikan kita akan berjumpa dengan teori tujuan pendidikan sebagai transaksi ( education as transaction ). Dengan analogi orang Eskimo di Baffin Bay yang “berinteraksi” (work together) dengan bebatuan yang ada di lingkungannya untuk membuat rumah batu (stone sculpture) yang secara organic sesuai dengan materialnya dan selaras dengan kemampuan pembuatnya. Pendidikan adalah proses memberi dan menerima (give and take) antara manusia dengan lingkungannya. Di sana seseorang mengembangkan atau menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk memodifikasi atau meningkatkan kondisinya dan juga lingkungannya. Sebagaimana pula di sana dibentuk perilaku dan sikap-sikap yang akan membimbing pada upaya rekonstruksi manusia dan lingkungannya.

Jika kita coba benturkan teori tujuan pendidikan dengan urgensi Sekolah kedinasan kita akan melihat semakin tipisnya urgensi sekolah kedinasan dengan spirit awalnya untuk mencetak tenaga kerja terampil di instansi pemerintah. Mengapa demikian ? dengan adanya kebijakan moratorium PNS sekolah kedinasan alpa menjalan kan proses take and give. Dimna sekolah kedinasan telah menerima fasilitas negara berupa biaya pendidikan gratis ( take ) namun gagal memberikan sesuatu kepada lingkungannya (give) yang dalam hal ini menjadi tenaga terampil di instansi pemerintah karena tidak adanya penerimaan PNS  melalui jalur kedinasan pasca moratorium ( mengutip MENPAN-RB)

Paragraph diatas menggambarkan lemahnya urgensi sekolah kedinasaan jika masih tetap berangkat dari spirit awalnya sebagai supplier utama SDM di Instansi pemerintah. Hal diatas yang mendorong sekolah kedinasan harus segera menggeser tujuan awalnya agar proses take and give dalam teori epistomologi tujuan pendidikan dapat berjalan dengan baik.

Kelemahan urgensi sekolah kedinasan diperparah dengan iklim intelektualitas yang belum kental dibanding dengan penyedia lain SDM untuk instansi pemerintah sebut saja PTN. Hal ini disebabkan pola pikir mahasiswa kedinasan yang cenderung bermain di zona nyaman karena adanya kepastian kerja yang di iming-imingi sehingga tidak mendorong mereka untuk menchallange dirinya dengan hal-hal baru diluar disiplin ilmunnya.

Selain itu, faktor eksternal imbas dari birokrasi yang kaku dan juga spirit awal sekolah kedinasan sebagai pencetak “pekerja” membuat semua hal di sekolah kedinasan menjadi terlalu terpatronisasi dan membatasi daya kreasi mahasiswa sekolah kedinasan. Bandingkan dengan PTN yang dibiarkan bebas mengeksplorasi kemampuan mereka lewat iklim intelektualitas yang sangat terjaga dengan dukungan literature dan pengajar yang memang memiliki background akademisi bukan praktisi, kemudian posisi PTN yang bukan anak kandung pemerintah juga melahirkan flexibilitas untuk mengembangkan daya kreasi guna mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah.

Jika ingin coba berfikir objektif, urgensi sekolah kedinasan memang sudah sangat tipis ( jika tidak ingin dibilang tak ada ). hal ini jelas terlihat  jika ditinjau dari lingkungan dan iklim pembelajarannya lulusan PTN lebih menjanjikan tenaga kerja terdidik yang memiliki kemampuan analisis yang jauh lebih baik ini sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman yang cukup pesat. Memaksakan instansi pemerintah menaikan spesifikasi requirement pegawainya demi terciptanya pelayanan maksimal kepada masyarakat apalagi ditengan persaingan pasar tenaga kerja yang melimpah ruah.

Wacana-wacana pembubaran Sekolah kedinasan terlihat masuk akal karena memang sekolah kedinasan saat ini gagal merevitalisasi dirinya menjadi sebuah lembaga pendidikan yang memiliki posisi tawar yang cukup baik terhadap pengguna jasanya terbukti dengan keluarnya bebeberapa kebijakan yang melemahkan posisi ikatan dinas dari sekolah kedinasan. Posisi sekolah kedinasan yang hanya bergantung dan terikat dengan instansi pemerintah memiliki konsekuensi logis jika instansi pemerintah tidak membutuhkan SDM dari sekolah kedinasan lagi karena terkait pertimbangan-pertimbangan sebagaimana penulis uraikan di paragraf awal maka berakhirlah nasib sekolah kedinasan.

Sekolah kedinasan harus berbenah jika ingin mengembalikan romantisme nama besarnya atau tenggelam karena tak lagi memiliki urgensi. Sebenarnya sekolah kedinasan memiliki banyak potensi-potensi keunggulan dibanding PTN.

Pertama, sekolah kedinasan memiliki lintas jaringan yang sangat kuat dan mengakar dibanyak instansi pemerintah karena lulusan-lulusan sekolah kedinasan baik dari segi kuantitas maupun kualitas sudah lama bercokol di dunia birokrasi

Kedua, sekolah kedinasan memiliki basic keilmuan yang unik dan khusus. Sehingga lulusan sekolah kedinasan membutuhkan waktu adaptasi yang lebih singkat untuk “siap bekerja” dibanding lulusan PTN yang harus belajar dari titik nol tentang ilmu-ilmu terapan di instansi pemerintah. sekolah kedinasan mencetak pekerja dengan kompetensi teknis khusus yang terampil.

Ketiga, terkait seleksi masuk yang ketat untuk bisa masuk menjadi mahasiswa di sekolah kedinasan.Melalui seleksi ini paling tidak mahasiswa kedinasan memiliki kapasitas raw material yang sangat baik tinggal bagaimana cara mereka berfikir untuk bisa berkembang.

Namun semua potensi diatas belum cukup untuk merevitalisasi fungsi sekolah kedinasan agar mampu bersaing dengan lulusan PTN.

Ibaratnya potensi-potensi diatas adalah hard skill dari lulusan sekolah kedinasan yang harus dipoles dengan soft skill berupa daya kreasi kritis yang dibangun dibawah iklim intelektual bebas sehingga melahirkan pola pikir baru mahasiswa kedinasan yang berani keluar dari zona nyaman dan bertarung bebas dengan lulusan PTN di ranah penyuplai SDM di instansi pemerintah.

Perananan mahasiswa sekolah kedinasan menjadi titik vital dalam proses pembentukan “sekolah kedinasan yang baru” sangat sulit jika kita mengharapkan kepada pemerintah untuk merubah kebijakan yang memang sejalan dengan grand design reformasi birokrasi. Kuncinya ada di mahasiswa kedinasan ada beberapa solusi yang dapat ditempuh untuk bisa mensukseskan revitalisasi sekolah kedinasan

Pertama, seluruh mahasiswa kedinasan di Indonesia harus mendefinisikan ulang sekolah kedinasan beserta fungsi dan tujuannya yang sesuai dengan tuntutan zaman. intinya adalah me-reframe konsepsi yang menjadi dasar dari pola pikir mahasiswa kedinasan. Caranya segera laksanakaan konsorsium mahasiswa sekolah tinggi kedinasan seluruh Indonesia yang melahirkan manifesto pendidikan kedinasan yang mencerminkan sosok insan cendikia

Kedua, Merubah pola tindak agar sejalan dengan pola pikir kreatif kritis dibawah iklim intelektualitas, maksudnya pembiasaan berfikir kreatif tidak kaku dengan mengurangi efek negative dari birokrasi berupa patronisasi dan ketakutan-ketakutan akan aturan yang dibuat begitu kaku  sehingga pola tindak tadi dapat bersenyawa terhadap alam bawah sadar menjadi mindset yang tertanam dialam bawah sadar. Intinya adalah Rombak ulang pola pikir mahasiswa kedinasan yang cenderung bermain dalam zona nyaman siap kerja.

Ketiga, Setelah aspek internal di perbaiki mahasiswa kedinasan dapat mendesak kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontra terhadap revitalisasi posisi sekolah kedinasan. sebagai contoh mahasiswa kedinasan harus mendesak perubahan iklim birokrasi yang terlalu kaku beralih menjadi iklim kreatif kritis yang ada di disekolah kedinasan.

Kesimpulannya adalah bahwa mahasiswa kedinasan jelas memiliki banyak keunggulan dibanding dengan lulusan PTN, seharusnya mahasiswa kedinasan tidak takut terhadap ancaman pembubaran PTK karena potensi-potensi luar biasa yang kita miliki. Dengan catatan kita mau bersama-sama memperbaiki soft skill kita lewat perubahan paradigma berfikir yang lebih kreatif-kritis keluar dari zona nyaman yang lekat dengan iklim intelektualitas yang tidak kaku.

Penulis yakin dengan mekanisme penyaringan CPNS yang sehat lulusan sekolah kedinasan tetap menjadi pilihan utama untuk mengisi formasi di instansi pemerintah ataupun jika tidak di instansi pemeritah dengan disiplin ilmu khusus ditambah soft skill mumpuni dan kualitas jaringan yang luar biasa lulusan sekolah kedinasan tidak akan sulit mencari pekerjaan. Mutiara tetap mutiara walaupun ditengah lumpur !

Biarkan gong moratorium ini membangunkan dan menyadarkan kita dari mimpi indah zona nyaman hingga tersadar bahwa potensi kita jauh lebih besar dibanding kita hanya tidur di zona nyaman

Jelas kita lebih unggul !!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline