"Sebuah gua yang gelap dapat dinyalakan dengan kedipan cahaya hanya dalam sedetik meskipun telah menghadapi kegelapan selama berabad-abad", (Naamdeo). Dan, saya mencoba untuk mengedipkan cahaya itu.
...
Iya, saya belum memahaminya enam tahun yang lalu. Saya mungkin pernah mendengarnya sekilas saja di berbagai sesi pelajaran di kelas sejak duduk dan bersandar di bangku SD sampai SMA. Pendengaran saya tampaknya kurang jelas, ataukah penalaran saya yang kurang tajam untuk memahaminya. Setelah diterawang agak dalam, mungkin saya berada di dalam kehidupan komunitas yang banyak homogennya. Itulah alasannya di titik waktu itu saya belum paham.
Saya mencoba mengajak Anda untuk menuju tahun 2014, tepatnya di penghujung bulan Agustus. Seingat saya, waktu itu suhu udara panas. Kira-kira 32-34 derajat dalam skala Celcius. Untuk kali pertamanya seorang anak desa, dari pelosok Tanah Air Indonesia, daerah perbatasan dengan negara lain, menghirup udara dan menginjakan kakinya di sebuah kota di Pulau Jawa.
Adalah Yogyakarta, tempat yang akan mencerahkan itu. Saya dijemput Kornel, seorang teman lama waktu di SMA. Dia sudah setahun lebih awal datang ke kota itu. Berkat beasiswa yang diterimanya, dia tinggal di asrama kampus. Karena tamu tidak bisa diinapkan di dalam asrama, sesuai aturannya, saya "dititipkan" Kornel ke teman sekelas kuliahnya untuk menginap di kosnya beberapa hari, sebelum saya mendapatkan kos untuk ditinggali.
...
Tempat tinggal baru, teman baru, olahan makanan jenis baru, penampilan orang-orang berbeda, mobilitas orang juga berbeda intensitasnya, bahkan cara berbicara juga beda sampai-sampai saya agak kesulitan memahami apa yang terucap. Hampir semuanya baru bagi saya, kecuali pakaian yang saya pakai dan perlengkapan lainnya yang dibawa.
Satu lagi, pandangan-pandanganku mulai berbeda. Hal yang sangat mengesankan adalah ketika aku berjumpa dengan manusia Indonesia dari berbagai daerah, bahkan dari Sabang sampai Merauke, dari Mianggas hingga ke Pulau Rote. Dengannya, selain disebut Kota Gudeg, Yogya juga disebut Kota Pelajar, karena di kota inilah berkumpul anak-anak bangsa yang beragam asalnya.
...
Aku mulai perlahan melihat Yogya secara dekat ketikaBagus, teman Kornel yang bersamanya saya tinggal, mengajak saya untuk berjalan-jalan melihat dari dekat pusat kota, tepatnya Malioboro. Kami melaju dengan sepeda motor Bagus.
Bagus, sering dipanggil Bli oleh teman-temannya. Saya tau itu dari Kornel. Katanya, "dia orang keturunan Bali Lombok jadi kam (kami) panggil dia Bli saja", jelasnya dengan logat khas NTT. Saya tau Bli seorang Hindu ketika suatu pagi sebelum berangkat kuliah, dia berdiri dan sambil membakar dupa,kemudian berdoa dengan kepalanya dimahkotai udeng. Aroma matahari hampir menghilang. Warna keemasan mulai nampak di langit, di atas ujung paling atas Tugu Yogya.