Lihat ke Halaman Asli

Ahok Bukan Simbol Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika

Diperbarui: 15 Desember 2016   18:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tak dinyana, pada persidangan perdananya (13/12), terdakwa Ahok menangis. Tangisan tersebut keluar saat dirinya membacakan pengantar Nota Keberatan. Dengan berbagai argumen seperti memilki ayah angkat pemeluk Islam, banyak meluncurkan program pembangunan keumatan Islam semasa menjabat, dan pernah belajar di sekolah Islam. Jadi mana mungkin Ahok mencoba nistakan Agama Islam, argumennya.

Tapi argumen ini dipatahkan oleh sejarah. Kasus penistaan agama yang berujung kerusuhan di Situbondo tahun 1996 membuktikan bahwa pelaku penistaan agama Islam dapat berasal dari  pemeluk Islam sendiri. Jadi bila Ahok sudah merasa sangat Islami, tidak ada jaminan dirinya tidak pernah menistakan Islam. Bila terbukti kata-katanya tentang “dibohongi pakai Surat Al Maidah” adalah menistakan Agama Islam, melanggar hukum pasal 156 dan 156 (a) KUHP, maka Ahok juga alpa menerapkan filosofi toleransi beragama (Sila Pertama Pancasila).

Kembali ke soal tangisan Ahok.. Sejenak saya jadi teringat, bahwa beberapa tahun belakangan banyak juga masyarakat Jakarta yang dibuat menangis oleh Gubernur Ahok. Mereka adalah puluhan ribu KK korban penggusuran, yang sebagian masih bertahan terlantar, sebagian dimiskinkan di rumah susun, sebagian melawan berdemonstrasi Warga yang melawan akhirnya dituduh komunis oleh Ahok dan diancam akan disemprot bensin oleh Ahok.

Di suatu kesempatan juga Ahok enteng saja bilang lebih baik ada ribuan orang ditembak mati di depan kamera demi kepentingan jutaan warga. Sungguh suatu ucapan yang tidak bernafaskan filosofi Kemanusiaan (Sila Kedua Pancasila). Makanya, sungguh tidak terbayangkan akhirnya di kemudian hari, Ahok terlihat menangis sesunggukan di kursi pesakitan. Sekarang ini tidak muncul lagi karakter neofasisnya di muka hukum dan publik Indonesia.

Ahok mungkin tidak pernah baca ketentuan di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (pasal 1963 dan 1967) dan PP No 24/1997, yang menyebutkan bahwa warga yang telah menduduki suatu tanah dengan itikad baik, dan apabila masa pendudukan telah melampaui 30 tahun maka hak atas tanah tersebut mutlak tidak dapat dituntut pihak ketiga. Artinya, dalam kebijakan penggusurannya Ahok telah melanggar hukum. Dan karena sumber hukum kita adalah Pancasila, maka dapat dipastikan Ahok juga gagal menjalankan filosofi Keadilan Sosial (Sila Kelima Pancasila).

Kegagalan Ahok menjalankan filosofi Keadilan Sosial juga terlihat dari penolakannya terhadap tuntutan besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) kelas pekerja. Sungguh musykil, upah minimum wilayah tetangga seperti Bekasi dan Karawang malah lebih tinggi dari Jakarta. Padahal biaya hidup jelas lebih tinggi di Jakarta dibanding Bekasi maupun Karawang. Oleh karena hal ini, Ahok digelari sebagai “Bapak Upah Murah” oleh gerakan kelas pekerja.

Di sisi lain, Ahok terus saja mensukseskan proyek-proyek Taipan Properti. Dari Reklamasi Teluk Jakarta hingga Izin pembangunan Mall-Mall di tengah kota adalah hadiah Ahok bagi para Cukong. Kebijakan ini tentu akan meningkatkan kekayaan para Taipan dan jajaran eksekutifnya. Kesimpulannya, bila upah kelas pekerja ditahan rendah sementara kekayaan Taipan terus meningkat, kesenjangan sosial pasti akan meningkat. Terbukti indeks Gini DKI Jakarta meningkat selama kepemimpinan Ahok.

Ahok juga mungkin kurang paham aturan hukum di UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara, yang menyatakan bahwa setiap dana yang masuk ke pemerintah harus melalui pembahasan dengan wakil rakyat sebelum digelontorkan menjadi proyek. Model penganggaran ala Ahok ini biasa disebut sebagai dana offbudget. Dengan tidak melibatkan DPRD DKI Jakarta dalam sebagian proyek, Ahok juga telah mengingkari filosofi Kedaulatan Rakyat (Sila Keempat Pancasila). Rakyat berhak untuk mendapatkan informasi yang transparan atas penggunaan anggaran Pemprov DKI.

Yang juga paling jelas adalah: disadarinya atau tidak, Ahok telah menjadi biang dari meningkatnya tensi gesekan masyarakat seluruh Indonesia. Ucapan-ucapan Ahok sebelum ini yang bernada menantang telah membuat konsolidasi umat Islam semakin besar. Kebetulan di inti gerakan ini terdapat pengaruh kelompok-kelompok gerakan Islam yang lebih radikal dan fundamentalis. Saat suatu kelompok mendadak membesar, pasti akan timbul reaksi balik dari masyarakat di luar kelompok itu. Pada ujungnya aksi dan reaksi sosial ini berpotensi mengakibatkan disintegrasi Bangsa, membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Sila Ketiga Pancasila).

Kemudian, agar tidak keburu dicap sebagai pemecah belah NKRI, Ahok berlindung di balik semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Dianggapnya Bhinneka Tunggal Ika adalah jawaban politik bagi gerakan umat Islam yang sedang membesar. Jelas telah terjadi kesalahpahaman dalam menterjemahkan kebijaksanaan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan ini tidak ada hubungannya dengan hak politik minoritas, untuk mencalonkan dan dipilih. Sejarahnya kebijaksanaan ini muncul pada era Majapahit sebagai penanda terdamaikannya aliran-aliran agama (dan politik, karena keduanya melekat) yang telah berkonflik selama berabad-abad. Kini, bila gara-gara Ahok ternyata di daerah-daerah malah terjadi provokasi-provokasi yang menjurus konflik agama dan ras, apakah masih layak dirinya disebut simbol Bhinneka Tunggal Ika? ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline