Lihat ke Halaman Asli

Surat dari Seorang Kakak kepada Adiknya di Kampung Jauh

Diperbarui: 22 Maret 2020   17:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: kawalcorona.com/22 maret 2020-17.03

Adikku yang kucintai, kusayangi sepenuh hati..! kakak berharap engkau membaca surat ini bukan di dalam cafe tempat biasa nongkrong bersama kawan-kawanmu. Semoga engkau sedang duduk di rumah, di sofa kusam kita, sambil menikmati teh panas dan sepiring ubi jalar goreng bersama ayah dan ibu kita.

Adikku yang keras kepala..! Kakakmu ini tak tahu apakah kita masih bisa lebaran bersama pada Syawal mendatang. Jika memang masih diberi waktu, kakak masih mikir-mikir dulu untuk pulang ke kampung kita. Bila engkau bertanya tentang alasanku, jawabannya karena aku terlalu mengasihi kalian semuanya.

Adikku yang pembangkang..! Untuk sementara waktu, kakak berharap engkau betah dulu tinggal di rumah. Beritahu ayah dan ibu kita, kakek-nenek kita, om dan tante, sepupu-sepupu kita, juga tetangga-tetangga agar menghindari keramaian dulu. Kakakmu tahu, bagaimana pun membangkangnya engkau, tapi otak dan hatimu masih bisa membedakan dan menerima perihal yang lebih benar.

Dik, sudah hampir sebulan kita dihinggapi rasa khawatir sejak diumumkannya penderita pertama dari wabah yang selama ini kita sebut sebagai azab bagi orang China. 

Saat masuk ke negara kita, alih-alih berpikiran bahwa negeri kita pun berarti sama diazab-Nya, kita malah asyik mencaci-maki negara orang lalu menjalar ke pemimpin sendiri. Untunglah ayah menegur kita lalu menjelaskan bahwa sesuatu bisa dikatakan azab adalah karena kitab suci yang mengatakannya, selebihnya wallahu alam.

Adikku..! Kemarin engkau menulis di statusmu kalimat yang mengumpat pemerintah sebab lamban dan terkesan bercanda menghadapi wabah ini saat awal kemunculannya. Kakak setuju dengan alasanmu mengumpat.

Di saat banyak orang dari berbagai negara sudah terjangkit, mereka masih bangga menyebut bangsa kita kebal karena minum ini, itu, dan sebagainya. Tiba saat kita yang terkena jangkitannya, mendeteksi penyakit pun, dalam beberapa kasus, baru bisa disimpulkan setelah pasien selesai dikuburkan. Betapa lambannya.

Tapi sudahlah, Dik. Tak ada gunanya juga mengumpat. Lagian, sejak kapan ayah dan ibu mengajarimu berkata-kata kotor begitu? Barangkali yang musti dilakukan adalah mengajak warga kita untuk menghindari keramaian dan sebisa mungkin berada di rumah saja sampai batas waktu yang telah ditentukan.

Mengajak warga kita engkau bilang sulit? Kakakmu ini pun membenarkannya, Dik. Mungkin karena kita besar dari dunia sosial media yang penuh dengan caci maki sehingga bila bukan "orangnya" yang memberi perintah, maka dianggapnya itu bisikan iblis yang akan menyeretnya ke jahannam. 

Aih, sulit memang, Dik. Engkau berikan pendapat pemuka agama dengan reputasi baik dan pendidikan agama yang mumpuni pun mereka pasti akan tolak. Yang diterima hanyalah ceramah yang akan mendukung pendapatnya saja, meskipun orang tersebut masih tak jelas asal-usul ilmunya.

Adikku yang kusayangi..! Sebenarnya kakakmu ini sedang khawatir. Berada di tengah-tengah wilayah terjangkit bukanlah hal yang mudah. Kakak sudah takut bepergian, Dik. Jika bukan untuk beli bahan makanan, kakak pasti hanya berdiam diri di rumah mendoakan kita semua. Tentang hidup dan mati? Semua memang sudah ditakdirkan Tuhan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline