Lihat ke Halaman Asli

Strategi Sukses Asi Eksklusif

Diperbarui: 13 Desember 2017   00:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Executive Summary

Periode paska melahirkan merupakan periode berharga bagi ibu dan anaknya. Karena banyak faedah yang didapat baik bagi si anak maupun ibunya. Menjadi tantangan tersendiri bagi wanita karir ataupun pekerja perempuan. kondisi saat perempuan tidak mampu memberikan ASI Eksklusif ternyata memberikan dampak psikologis yang lebih kompleks. 

Ada perasaan bersalah, takut, sedih, menyesal dan gagal karena tidak bisa menjadi sosok ibu ideal seperti yang dituntut dalam masyarakat. Pemerintah melalui UU Ketenagakerjaan sudah mengatur perihal Pemberian asi eksclusive . Namun sedikit tidak sinkronan dengan peraturan lainnya yakni PP No 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif

Pernyataan Isu

Dalam perkembangannya, ASI cenderung menjadi isu publik yang memiliki keterkaitan terhadap berbagai aspek baik secara kesehatan, sosial bahkan ekonomi. Sudut pandang kesehatan menjelaskan bahwa ASI merupakan nutrisi terbaik bagi seorang bayi yang baru lahir.

Air susu ibu (ASI) mengandung gizi tinggi yang amat bermanfaat untuk kesehatan bayi. WHO merekomendasikan bayi harus mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan. Tetapi sayang dengan alasan bekerja, tidak semua perempuan bisa memberikan ASI pada bayinya. Praktek menyusui bukanlah persoalan sederhana. 

Menyusui bukan sekedar memberi asupan nutrisi bagi bayi langsung dari payudara sang ibu. Tetapi, ada banyak hal yang perlu untuk dinegosiasikan terutama bagi perempuan yang bekerja.

Dalam penelitian tentang ASI Eksklusif yang dilakukan oleh Desintha Dwi Asriani, MA, Sosiolog Universitas Gadjah Mada diketahui bahwa sebagian perempuan terutama yang bekerja di pabrik tidak berhasil memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya. Ada beberapa faktor penyebabnya, yakni pendeknya masa cuti melahirkan, tidak ada sistem cuti menyusui, terbatasnya waktu istirahat, tidak ada fasilitas ruang laktasi, tidak punya lemari penyimpan ASI, faktor kelelahan, maupun persoalan cultural yakni malu jika memerah ASI di tempat bekerja.

Tak hanya sampai di situ, kondisi saat perempuan tidak mampu memberikan ASI Eksklusif ternyata memberikan dampak psikologis yang lebih kompleks. Ada perasaan bersalah, takut, sedih, menyesal dan gagal karena tidak bisa menjadi sosok ibu ideal seperti yang dituntut dalam masyarakat. Pada akhirnya praktek menyusui dinilai sebagai persoalan konstruktif.

Latar Belakang Masalah

Dari data riset kesehatan dasar 2013, diketahui bahwa tingkat pemberian ASI Eksklusif untuk bayi di Indonesia baru mencapai angka 38%. Jika dibandingkan dengan target organisasi kesehatan dunia (WHO) yang mencapai 50 persen, maka angka tersebut masih jauh dari target. Jumlah kelahiran di Indonesia mencapai angka 4,7 juta per tahun, sementara jumlah bayi yang memperoleh ASI Eksklusif selama enam bulan bahkan hingga dua tahun ternyata tidak mencapai dua juta jiwa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline