Sebentar lagi Natal tiba, dan kita akan lihat mitos kebaikan sinterklas; pria dengan sosok jenggot tebal yang membawa karung hadiah untuk anak anak. Sukacita akan tiba!
Jika mitos masih kita kenang, kenapa sejarah kita lupakan? Kita memang terus berpura lupa. Entah itu Gunung Mulia, Leimena, Tambunan, Rumambi, Probowinoto atau yang lainnya, semuanya kita masukkan dalam karung waktu.
PGI pura pura lupa bahwa UKI itu berproses bersama DGI. Itu bagian dari sederet kisah lupa.
Maka tak heran jika aktivis gereja dengan topeng oikumenis- atas nama lupa, mengarungi satu demi satu aset oikumenis. Jika semula dari lampu merah Salemba sampai batas kali depan RSCM adalah asset lembaga gerejawi, sekarang sebagian besar sudah lenyap dikarungi mereka.
PGI mengaku menyerah dengan mafia dilingkungan RS PGI Cikini, maka proses lupa pun dimulai lagi; dan kita akan menyaksikan lagi tragedi. Begitu seterusnya. Akan begitu selanjutnya.
Coba saja baca laporan MPH PGI di Sidang Raya ke 17 Sumba, betapa banyak properti yang idle. Beberapa aset dlm lingkup BKS PGI-GMKI bahkan tak dicatat. 'Mengotori buku' katanya. Itu yang membuat Ketua GPI Liesje Sumampow marah di Sidang MPL PGI Waibakul. 'Aset tak sekedar catatan, tapi didalamnya ada histori gerakan oikumene," kata Liesje. Lagi lagi kita berpura lupa.
Sebenarnya kita punya ingatan kolektif, ketika dalam tradisi Sidang Raya banyak lembaga oikumenis diberi kesempatan menyampaikan 'salam dan pesan.' Sekarang tradisi itu sudah dihapus, dimasukkan dalam karung waktu.
Maka bisa dimengerti ketika GMKI, GAMKI, PIKI cuma bisa menganggur. PELKESI, PERUATI, PERSETIA pun ikut bengong. LAI pun teronggok di sudut ruangan. Sejarah telah dikarungi. 'Hanya mitra luar negeri yang bisa bicara' kata Sekum PGI. Ah, kita memang belum sepenuhnya mengIndonesia, juga dalam teologi.
Lalu yang ada ialah narasi yang mendayu, datar dan nelangsa. Kata demi kata yang diulang dari Nias, dari Mamasa. Ngkau tak bisa bicara, karena tak punya suara. Kalaupun mau bicara usahakan tak bersuara, begitu kata pendeta dengan suara lirih. Pendeta yang tak merdeka.
Apakah MPH memang terlihat parah tak berdaya? Ah, kami sudah dikarungi juga, kata mereka. Semua laporan seolah produk sekretariat, dan foto mereka ditampilkan meriah. MPH cuma stempel ternyata. Apa apa Sekum yang bicara, dan Ketua Umum diam saja. Dari waktu ke waktu, dari panggung ke panggung. Dan peserta cuma diam murung.
Di Nias memang ada peran Yewangoe, beda dengan di Waingapu.