Child grooming merupakan upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk membangun hubungan saling percaya dan hubungan emosional dengan anak atau remaja sehingga pelaku dapat memanipulasi, mengeksploitasi dan melecehkan korban. Biasanya pelaku adalah predator seksual atau pedofilia, mereka kerap melakukan proses child grooming melalui jejaring sosial dan memanipulasi korban sebelum akhirnya melancarkan aksinya. Pelaku dapat menghabiskan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan dengan korban.
Ada 6 tahap dalam child grooming. Tahap pertama adalah mencari korban. Pelaku akan mempersempit target pada anak-anak yang dianggap rentan dan mudah dikendalikan. Tahap kedua adalah mendapatkan kepercayaan korban dengan memberikan perhatian lebih dan membuat korban merasa spesial. Tahap ketiga adalah memenuhi kebutuhan korban, seperti kebutuhan finansial dan keintiman. Pada tahap keempat, pelaku mulai mengisolasi korban sebelum akhirnya pada tahap kelima pelaku melancarkan aksinya. Dalam tahap ini kemungkinan besar korban mengalami trauma bonding, dimana korban terus menjalani hubungan karena keterikatan emosional yang mendalam pada pelaku yang melakukan tindakan kekerasan seksual. Tahap terakhir adalah saat pelaku mempertahankan kendali tersebut selama mungkin.
Anak-anak kerap menjadi korban dari para predator seksual karena anak di bawah umur dianggap belum memiliki perkembangan emosi yang stabil. Dikarenakan emosi yang belum sepenuhnya stabil, anak-anak mudah dimanipulasi oleh orang dewasa. Child grooming tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga laki-laki.
Contoh kasus child grooming yang marak dibicarakan beberapa waktu lalu adalah Mario Dandy dengan inisial A. Mario yang sudah berusia 20 tahun, menjalani hubungan dengan A yang masih berusia 15 tahun, yang artinya A masih tergolong di bawah umur. Sayangnya kasus-kasus anak di bawah umur yang menjalani hubungan dengan orang dewasa masih dianggap bukan hal yang serius di Indonesia.
Mayoritas masyarakat Indonesia masih menormalisasi child grooming. Buktinya, marak terjadi pernikahan antara orang dewasa dengan anak di bawah umur yang mengatasnamakan cinta. Sementara itu, hukum di Indonesia sendiri menetapkan batas minimal umur pernikahan adalah 19 tahun untuk pria dan wanita. Pemikiran yang mewajarkan hubungan orang dewasa dengan anak masih mengakar di masyarakat karena pengaruh budaya dahulu yang menganggap pernikahan di usia muda atau menikah dengan orang yang memiliki jarak umur jauh bukanlah hal yang tabu.
Kenyataannya, banyak dampak negatif yang dialami oleh korban child grooming. Child grooming dapat berefek pada mental dan fisik, bahkan hingga korban berusia dewasa. Korban akan merasakan emosi seperti cemas, marah, sedih, bingung dan menyalahkan diri sendiri. Hal ini akan menyebabkan korban child grooming tumbuh menjadi pribadi yang pemurung, sehingga berdampak pada kehidupan sehari-hari korban.
Dengan maraknya kasus child grooming di Indonesia, diharapkan masyarakat terutama orangtua dapat memahami bahaya child grooming dan berhenti menganggap child grooming bukanlah sesuatu yang serius. Orangtua perlu memberikan pendidikan seksual kepada anak dan membuat anak merasa nyaman untuk membicarakan topik tersebut agar anak paham mengenai batasan-batasan dalam berelasi dan mengerti mengenai apa saja yang termasuk dalam kekerasan seksual, sehingga dapat terhindar dari kejadian tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H