"KAFIR!!!", kata yang kerap kali dilontarkan kepada sesama muslim oleh orang dengan fanatisme agama yang besar, merasa benar sendiri, dan (biasanya) berpemahaman (agama) yang minim.
Istilah "kafir" memang dikenal dalam agama Islam. Kata tersebut merupakan label bagi mereka yang tidak percaya kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, sebutan itu secara konteks lebih tepat digunakan dalam lingkup akidah. Bukan untuk meneriakan pada siapapun dia yang bukan beragama muslim atau kepada orang muslim yang tidak taat serta melanggar syariat agamanya.
Salah satu ulama sekaligus mufassir Indonesia yaitu Quraish Shihab, dalam salah satu pendapatnya yg penulis kutip dari sebuah unggahan video, beliau menjelaskam bahwa siapa orang yang meneriakan atau menuding kafir kepada sesama muslim, bisa jadi orang yg teriak itulah yang akan menjadi kafir.
Ketika Nabi muhammad hijrah ke Kota Madinah, beliau lebih sering menggunakan sebutan "Non Muslim" dibanding kafir. Beliau faham bahwa penduduk di Kota Madinah bukan hanya beragama Islam. Hal itu tentu sudah dipikirkan matang-matang oleh beliau untuk menghindarkan ketersinggungan dan menjaga toleransi antar umat beragama.
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia. Akan tetapi, agama yang ada di negeri ini beragam. Mereka hidup rukun berdampingan walaupun berbeda kepercayaan. Karena telah terpatri dalam diri mereka, yaitu selogan "berbeda beda tapi tetap satu". Namun, akhir-akhir ini ada sebagian kelompok kecil ormas Islam yang sering kali mengucapkan kata kafir yang dilontarkan kepada siapa saja yang dianggapnya tidak seakidah. Parahnya lagi, kata kafir dilontarkan dengan aroma kebencian. Hal ini tentu menjadi perhatian para Ulama Nusantara, yang akhirnya dalam bahtsul masail pada munas alim ulama di Banjar beberapa waktu lalu menghasilkan fatwa bahwa istilah kafir dirubah menjadi non muslim.
Fatwa tentang perubahan istilah tersebut berujung pro dan kontra di masyarakat. Ada yang setuju dan ada yang menolak. Hal itu biasa dan wajar,karena fatwa itu boleh diikuti boleh tidak. Akan tetapi, menolak fatwa tentu tidak harus ada embel-embelnya. Banyak yg kemudian mengatakan fatwa tersebut sesat, salah, dan dijadikan bahan tertawaan.
Parahnya lagi, mereka tak sadar bahwa ulama yang tergabung dalam bahtsul masail tersebut adalah orang yang secara keilmuan agamanya sangat mapan, kepribadianya soleh, dan berbudi pekerti yang luhur. Sedangkan orang yang mencibir fatwa tersebut kebanyakan orang yang tidak memiliki bekal agama yang cukup dan buta akan hukum-hukum islam yang termaktub di banyak kitab-kitab fiqih.
Masyarakat Indonesia harus lebih bijak bersikap dan berucap. Harus lebih sadar akan kadar kemampuan diri dan tidak mudah terprovokasi oleh sekelompok oknum untuk membenci satu sama lain. Sehingga kedepan, kerukunan antar umat beragama tetap berjalan harmonis tanpa caci maki dan benci.
Penulis: Cokky Guntara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H