Lihat ke Halaman Asli

Hilangnya Toleransi dengan Bangkitnya Populisme Politik Agama

Diperbarui: 19 November 2020   08:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Orang akan kesulitan menemukan wilayah dunia yang tidak disentuh populisme di tahun 2000-an. Populisme adalah politik yang menjual slogan anti-elit 'atas nama rakyat yang berdaulat' (Aslanidis 2016). Para tokoh pengusung populisme menyatakan diri sebagai bagian dari rakyat yang bertanggung jawab atas mencegah erosi kebajikan bangsa dan kesejahteraannya. Erosi yang diciptakan oleh musuh bersama yang dicitrakan oleh tokoh populis sebagai ‘pihak lain”.

Populis menciptakan 'pihak lain' sebagai kambing hitam yang disebutkan mengancam kebajikan dan kesejahteraan nasional demi mendapatkan simpati dari masyarakat atau membelokkan penyebab kegagalan pemerintahan tokoh populis. Di negara-negara Eropa dan Amerika, oposisi terhadap 'pihak lain' cenderung berfokus pada imigran dan / atau Muslim. Mengacu pada agama, Brubaker (2017) berpendapat bahwa gerakan populis di masyarakat barat berbagi semacam 'peradaban' di mana mereka menempatkan Islam sebagai ancaman bagi integritas peradaban mereka. Gerakan-gerakan ini cenderung menanggapi ancaman ini dengan apa yang disebut Brubaker sebagai 'Kristiani' yang, ironisnya, memasukkan pandangan liberal yang diduga tentang masalah gender dan seksualitas sebagai cara untuk membedakan 'peradaban Kristen' dari budaya Islam yang diduga regresif. Ilustrasi yang kuat dari ini adalah kasus Viktor Orban.

Dalam narasi Viktor Orban, kita dapat melihat bahwa peran agama dalam populisme tampaknya hampir seluruhnya identik dan negatif: ini adalah tentang apa yang membedakan masyarakat barat yang 'beradab' dari Muslim yang 'barbar'. Dalam konteks yang telah dipelajari oleh para penulis ini, tokoh populis membangkitkan kembali masa lalu Kristen untuk memperingatkan tentang ancaman eksistensial kehilangannya dalam menghadapi penyerbuan Muslim yang merampoknya dari masa sekarang. Karena itu, 'Rakyat' harus mengusir Muslim ini dari masa depan bangsa untuk menjamin kelangsungan hidupnya.

Anti-muslim juga bukan hanya ada di Barat tetapi juga di Negara seperti India, Sri Langka dan Myanmar. Narasinya sama seperti yang didengungkan di atas bahwa muslim dan imigran Muslim adalah ancaman bagi integritas bangsa mereka. Perdana Menteri India Narendra Modi telah memberi isyarat bahwa ia akan terus maju dengan upayanya untuk melanjutkan agenda Hindu-nasionalisnya --- termasuk mempertahankan Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan yang kontroversial, yang telah memicu protes selama berminggu-minggu.

Namun narasi populisme juga terjadi di Negara muslim seperti Indonesia dengan metode yang sama. Dalam varian populisme Indonesia, 'pihak lain' bisa menjadi 'sekuler', 'komunis', 'barat itu sendiri', non-pribumi dan tentu saja paling popular adalah China. Populis di Indonesia memilih 'pihak lain' sebagai ancaman terhadap agama Islam.

Seringkali populis mendengungkan penolakan elit karena mereka telah dianggap melayani, antek-antek dan sahabat 'pihak lain'. Mereka mendapatkan simpati dengan menyalahkan ‘pihak lain’ berkolusi dengan elit untuk mengambil kekuasaan yang seharusnya berada di tangan 'rakyat'. Dengan narasi tokoh seperti habib Rizieq Shihab, kita dapat melihat bahwa umat Islam tampaknya hampir seluruhnya dalam keadaan tertindas. Dalam konteks ini, tokoh populis berusaha membangkitkan kembali masa lalu Islam untuk mendapatkan simpati tentang ancaman eksistensial kehilangannya dalam menghadapi penyerbuan non-Muslim dan komunis yang disebutkan sebagai merampok kejayaan di masa lalu. Walau secara kenyataan sebenarnya umat Islam hancur karena perpecahan di umat Islam sendiri sesuai kenyataan disebutkan namun penyebabnya selalu ditekankan pada instigasi non-muslim. Tanpa menghiraukan bahwa sebenarnya perebutan kekuasaan antara umat sendiri dan persaingan mengaku paling benar sebagai sebab terbesar perpecahan.

Bentuk-bentuk ini akan berlanjut karena para populis di Indonesia berhasil membangun jadi diri yang besar dengan bermodalkan agama sebagai sentimen. Mereka juga mampu membawa banyak orang-orang yang dianggap alim ulama yang digadang sebagai wakil dari rakyat melawan tirani penindas masyarakat muslim di dunia dan di Indonesia. Sedihnya jika melihat retorika di atas tidak ada bedanya dengan retorika dari para pemimpin anti Islam yang mengusung teori bahwa umat Islam sebagai ancaman dunia dengan tirani yang memaksakan kebenaran mereka dengan kekerasan. Pada sisi ini para pemimpin populis seperti saling membantu karena kebencian yang ditawarkan kedua pihak jadi saling membenarkan dan membantu mereka untuk menjadi makin populer.

Jika kita belajar dan melihat retorika para pembenci Islam maka ide yang disampaikan sama persis. Jelas, seperti yang ditulis Brubaker, politisi populis meminjam secara bebas satu sama lain dalam repertoar ekspresi (anti-) agama mereka. Ini cocok dengan pengamatan Roy bahwa populis yang menggunakan agama Kristen pada dasarnya cenderung menjadi Kristen hanya jika mereka anti-Muslim. Pada repertoir dari tokoh populis muslim di Indonesia maka mereka menggunakan agama Islam pada dasarnya cenderung menyatakan bahwa menjadi muslim hanya jika mereka anti pemerintahan Jokowi yang dianggap menindas muslim dan mendukung 'pihak lain'.  

Populisme sendiri tidak berhasil memberikan perbaikan yang dijanjikan yang merata bagi rakyat tetapi hanya fragmentasi. Hal ini terjadi karena tokoh populis memang hanya menjual retorika populer. Kegagalan akan selalu ditimpakan kepada penyebabnya 'pihak lain'. Tokoh populis sendiri tidak akan pernah salah. Dimana mereka menang atau mulai mendapatkan dukungan maka semua hal menjadi hitam dan putih. Jika engkau bukan pendukungku maka engkau adalah musuh. 

Kekerasan menjadi salah satu metode demi menunjukkan bahwa tokoh populis berani dan tak kenal takut. Retorika bahwa tanpa kekerasan dan penunjukan kekuasaan maka para'pihak lain' tidak sadar dan terus merongrong rakyat dan agama didengungkan. Data mencatat bahwa para tokoh populis hanya menciptakan fragmentasi politik di seluruh dunia. Meningkatkan kekerasan dan penindasan oleh mayoritas terhadap minoritas. Sedihnya pemerintah sendiri menjadi gamang bertindak terhadap kekerasan yang dilakukan oleh tokoh populis. Tokoh-tokoh populis agama di Indonesia telah menyatakan skeptis terbuka tentang pemerintah, akan mencap pembelaan pemerintah sebagai tipuan elitis atau, setidaknya, masalah di mana negara telah dikuasai oleh minoritas elit yang membela musuh umat muslim. Hukuman terhadap mereka juga dibuat menjadi penindasan serta mempopulerkan diri mereka sebagai martir atau korban jihad.

Dengan cara ini, argumen populis di Indonesia kembali lagi mirip dengan argumen tentang anti imigrasi di Eropa yang menciptakan kekerasan. Argumen populis di Eropa adalah bahwa "Anda memiliki elit liberal yang mendapatkan segalanya dengan membiarkan masuk banyak imigran". Dengan pernyataan ini maka mereka membela penyerangan, pengurungan dan penghinaan terhadap umat Islam. Jika pemerintah atau anggota masyarakat pendukung toleransi menghukum serta mengecam pelaku kekerasan atau membela imigran maka narasi baliknya adalah penindasan elit terhadap ‘rakyat’ serta seruan dukungan terhadap martir. Pada akhirnya kekerasan dan kebencian akan makin tinggi karena pemimpin populis akan mengambil tindakan tokoh populis berseberangan akan terus mendapatkan bukti kebenaran teorinya. Penderitaan tentu saja hanya terus berlanjut pada pihak muslim ketika dia menjadi minoritas dan non-muslim ketika dia adalah minoritas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline