"Jalan-jalan terus ya, Bu ?" Sapaan itu acapkali mampir tiap kali saya berpapasan dengan tetangga di depan gang. Kadang, yang nanya pasang muka nyinyir komplit dengan pertanyaan : "Kalau jalan-jalan gitu terus, berarti enggak pernah masak di rumah ?" atau "Enak ya setiap hari pergi-pergi gitu, saya mah di rumah aja,". Kadang saya menimpali dengan senyum. Kadang, saya menjawab pendek 'iya ada perlu'. Enggak semua pertanyaan itu harus dijawab tho. Karena, daya tangkap setiap orang berbeda-beda. Dan, isi hati antara satu orang dengan yang lain pun tidak sama.
Setelah menikah di tahun 2012, saya memilih menjadi Ibu Rumah Tangga, pekerjaan impian setelah saya menghabiskan masa lajang dengan menjadi pekerja kantoran. Alhamdulillah, suami dan orang tua saya mendukung penuh. Terutama, orang tua yang tahu saya memiliki potensi di dunia menulis. Pesan Mamah hanya satu "Mamah ini Ibu Rumah Tangga, produk jaman dulu yang mau apa-apa serba terbatas. Kamu anak jaman sekarang, mau bekerja ya bisa dari rumah. Kamu bisa menulis, kamu bisa ini itu. It's okay menjadi Ibu Rumah Tangga. Tapi, jangan menjadi Ibu Rumah Tangga biasa."
Awalnya, bayangan tentang bekerja di rumah itu INDAH. Setelah suami berangkat, sambil dasteran bisa langsung buka laptop untuk cek e-mail. Atau, enggak perlu kemana-mana yang penting fasilitas bekerja (laptop dan internet) aman. Ternyata, banyak tantangannya untuk bekerja di rumah. Apalagi, saya tinggal di tengah-tengah masyarakat yang kebanyakan bekerja di sektor non-formal. Di kelompok ini, lazimnya, perempuan hanya ada dua pilihan. Kalau bekerja, berarti bekerja kantoran. Kalau Ibu Rumah Tangga ya kegiatannya seputar dapur, sumur, kasur.
Enggak ada istilahnya Ibu Rumah Tangga yang punya pekerjaan di rumah. Saat saya sedang banyak orderan dan menghabiskan sepanjang hari dengan bekerja di dalam rumah, biasanya tetangga bakal bertanya "Betah amat seharian di dalam rumah, Bu. Enak ya bisa tidur seharian". Atau, saat saya lebih sering keluar rumah untuk mengambil orderan, pertanyaannya akan menjadi seperti kalimat pembuka tulisan ini.
Di lingkungan tempat tinggal saya, setelah para suami berangkat kerja, satu-persatu tetangga yang berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga keluar dari rumah bersama anaknya. Tak lupa membawa sepiring nasi dan minuman. Sembari menyuapi anak, para Ibu Rumah Tangga ngobrol ngalor-ngidul. Dari mulai urusan berat badan anak yang enggak naik-naik hingga harga bawang merah di tukang sayur A yang kebangetan mahal. Menyenangkan memang selalu tahu dunia per-Ibu Rumah Tangga-an. Apalagi dalam sehari bisa 3 kali nongkrong di rumah tetangga yang berbeda.
Misalnya, jam 9 pagi nongkrong sambil menyuapi anak sarapan di teras rumah Jeung Marni. Jam 1 siang, nongkrong sambil menyuapi anak makan siang di teras rumah Jeung Darsi. Lalu, jam 4 sore setelah anak mandi giliran menyuapi anak di teras rumah Ceu Kokom. Saya pernah selama 3 hari berturut-turut mengikuti jadwal nongkrong sesama Ibu Rumah Tangga di rumah dan hasilnya ... saya malah tidak bahagia, berasa enggak produktif dan hidup seperti mundur sekian ratus tahun ke belakang. Ternyata, GueBeda !
Saya pun kembali pada rutinitas pekerjaan di rumah. Mengerjakan orderan transkrip suara, menulis artikel atau berkegiatan di dunia blogging. Sesekali masih nongkrong tetapi tidak rutin. Hingga suatu hari, "Ibu ibu, kita di sini semua kan udah punya handphone. Gimana kalau kita punya whatsapp group (WAG) ?" saran saya. Ibu-ibu tetangga tertarik dengan gagasan saya. Yang belum punya aplikasi whatsapp pun ikut tertarik.
Layaknya seorang Marketing yang sedang presentasi di depan calon klien, saya menerangkan manfaat memiliki WAG. Setelah WAG berjalan, para Ibu tetangga yang terdiri dari Ibu Rumah Tangga dan Ibu Kantoran terlihat lebih kompak. Kuncinya, kami memiliki jadwal kegiatan bersama di luar rumah.
Setiap Rabu malam, para Ibu tetangga bulu tangkis di Gelanggang Olahraga Remaja dekat rumah. Setiap Sabtu kami makan siang bersama di rumah tetangga. Lauknya tentu membawa masing-masing. Sembari makan bersama, kadang kami saling bertanya tentang resep masakan yang dibuat. Sebulan sekali, kami jalan-jalan ke lokasi-lokasi hiburan yang terjangkau dan murah meriah. Seperti foto di atas saat kami sedang piknik di Kebun Binatang Ragunan.
Selain WAG yang membuat kami sesama Ibu Tetangga menjadi kompak, ada satu lagi yang menyatukan kami, yaitu Minyak Kayu Putih Aroma Caplang. Yang namanya Ibu-ibu pasti punya minyak kayu putih caplang. Karena, mudah diperoleh, harganya terjangkau dan manfaatnya banyak. Bukan sekali dua kali, saat anak-anak sedang bermain bersama di luar rumah tiba-tiba ada yang digigit nyamuk. Bekas gigitan nyamuk pasti meninggalkan bentol-bentol di kulit.
Spontan, Ibu-ibu langsung mengoleskan KayuPutihAroma di area kulit anak yang digigit nyamuk. Atau, ketika ada Ibu Tetangga yang nongol dengan muka cemberut sembari memegangi leher, salah satu dari kami pasti langsung menawari "Pasti masuk angin ya ? Sini saya olesin punggungnya biar anget pakai minyak kayu putih,". Kalau musim hujan tiba, anak-anak bawaannya kepingin main hujan-hujanan. Sesekali saya dan Ibu Tetangga lainnya membolehkan. Yang penting sesudah main hujan-hujanan, anaknya langsung mandi air bersih dan setelah itu diolesin minyak kayu putih supaya tubuhnya hangat.