Riana memilih keputusan di luar nalar untuk mengakhiri penderitaannya. Ia berpikir ini yang terbaik mengakhiri semuanya. Ia melangkah pelan menuju jalur KA. Dan, semuanya berakhir, pikirnya.
"Ada yang lebih besar selain cinta untuk merajut hidup yang bahagia," tegas ibunya.
"Harta?" ketusnya.
"Ya, tentu saja. Adakah kamu dengar orang hidup karena cinta? Sarapan cinta? Makan siang cinta? Dinner cinta?"
Riana menarik nafas panjang. Dihembuskannya dengan berat. Ibu tak memahaminya. Ibu hanya mendewakan uang. Baginya, uang segalanya!
"Cinta segalanya, Bu!"
"Ibu menikahi Ayah karena harta?" lanjut Riana.
Pertanyaan itu menohok hati. Tatapan ibunya tajam,"Ya," jawabnya singkat.
"Ibu bahagia dengan gelimangan harta Ayah?"
"Ya."
Riana tertawa sinis.
"Ayah mati tidak bahagia. Hartanya terkuras dengan kehidupan mewah Ibu," kata Riana.
"Sebuah pembuktian, harta tidak membahagiakan."
"Prak!" satu tamparan mendarat mulus di pipinya.
Air mata membasahi wajahnya yang cantik. Ia sudah memutuskan untuk melakukan ini. Suara KA menderu. Terlintas wajah Andara di benaknya. Teringat kembali masa-masa bahagia bersama.
"Maaf, aku harus pergi," bisiknya diiringi isak tangis.
Keputusannya bulat, ia harus melompat.
"Buk!"
"Astaga!" teriak orang-orang di pinggiran rel KA.
Tubuh itu berantakan. Daging tubuhnya bertebaran di pinggiran rel. Semua orang berkerumun. Beberapa di antara mereka muntah-muntah.
"Andara...," teriak Riana setelah memeriksa identitasnya.
Riana terkejut setelah membaca pesan whatsapp di ponsel Andara yang masih dipegangnya. Nomor itu ia kenal.
"Ibu...," gumamnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H