Ayah selalu memintaku untuk segera menikah. Ibu terus-terusan menceritakan Bu Yati, yang kini menimang bayi anaknya.
"Mumpung, Ayah, masih hidup, Nak," kata ayah setiap kami diduk ngopi di ruang tamu.
"Ibu, masih kuat menggendong anakmu kelak, Nak. Lihat, Bu Yati," sela ibu.
Aku biasanya mengalihkan pembicaraan, dengan menceritakan bisnis kecil yang kurintis. Tanggapan mereka cukup tak mengenakkan: diam!
Ibu terus mendesak, agar aku segera melamar Dian atau aku dijodohkan dengan Lintang, anak dari saudara ibu. Lintang, senyumnya tulus, hanya saja aku lebih menganggapnya sepupu. Rasa sayang yang kumiliki tidak lebih dari saudari sedarah. Dian, pilihanku!
Menghindari "perang" dengan ayah dan ibu, aku memutuskan melamar, Dian. Bermodal nyali, itulah sebabnya aku di sini. Sejenak, aku merasa malu mengetuk pintu. Tapi, kepalang tanggung, aku membenam malu dan membangunkan nyali yang sempat menciut.
"Toni, ada perlu apa ke sini?" Dian terbelalak saat membukakan pintu.
"Kok tanya begitu?" jawabku heran.
"Ya, aku baru lamaran, belum nikah, jadi belum ngundang kerabat, teman, dan keluarga besar," jawab Dian.
"Lamaran?"
"Ya. Maaf, Toni. Randy melamarku."
"Oh, maaf. Aku tadi hendak ke rumah Lintang," kataku.
Dian menutup pintu. Aku melempar cincin yang tadi kubeli.
13 April 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H