Aku hamil," katanya tiba-tiba.
"Ya, tidak apa-apa," jawabku santai sambil mengotak-atik ponselku.
"Kok responya begitu?"
"Terus?"
Ia memelototiku. Baru pertama kali aku melihatnya segarang ini.
"Kenapa sih?" tanyaku.
"Aku hamil," katanya lagi.
"O, ya? Sudah berapa bulan?" responku.
Ia menatapku tajam. Tak berkedip. Aku makin takut. Seolah ia bukan Diana yang kukenal.
"Aku hamil," katanya lagi.
"Aku dengar dari tadi, Diana, terus aku harus ngapain?" aku makin gemes ingin meremasnya seperti adonan.
"Baguslah kamu dengar," jawabnya pendek.
Aku makin bingung dibuatnya. Lagi-lagi ia menatapku tajam. Sesekali ia mengibas asap rokok yang mengepul.
"Siapa ayahnya?" tanyaku.
"Mana kutahu," jawabnya.
"Kok gitu jawabnya?" aku makin bingung.
"Terus?"
"Ya, kan pacarmu dua?"
"Kamu pikir aku rendahan?" suaranya meninggi.
"Ya, tidak sih, aku kan bingung," jawabku.
"Aku yang hamil kok kamu yang bingung?"
Aku tak lagi menyahut. Pikiranku kalut dibuatnya. Aku masih santai dengan kopi dan rokokku. Siapa yang hamilin dia, aku ogah mengurusnya. Toh, aku cuma sahabatnya.
"Aku hamil," katanya lagi.
"Aku tidak budeg, Diana. Dari tadi aku sudah dengar," jawabku kesal.
Ia menatapku lagi. Kali ini wajahnya loyo. Aku mulai panik. Diana mungkin menghadapi masalah karena kehamilannya. Aku merogoh saku, mengambil beberapa lembar uang, barangkali bisa dipakai untuk cek ke dokter.
"Nih," kataku sambil menyodorkan dua lembar seratusan.
"Aku punya uang," jawabnya.
"Terus aku harus ngapain, Diana?" aku makin kesal.
"Aku hamil, tolol. Matikan rokokmu itu! Tidak kasihan apa dengan bayiku?" teriaknya.
"Bilang dong dari tadi," jawabku.
"Dasar tidak peka," katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H