Aku memandang rumahnya yang belum selesai dibangun. Atau dibilang belum rampung. Semennya masih basah. Tanah pun masih basah, bukan karena hujan kemarin, tapi memang baru gali kemarin.
"Dari tadi?" tanyanya.
Aku mengangguk.
"Kenapa secepat ini?" tanyaku tak bisa menahan haru.
Ia sesaat terdiam.
"Aku pun tak menginginkannya," jawabnya.
"Kenapa tak ditolak?"
"Manusia tak bisa menolak takdir!"
"Tuhan mencintaiku," katanya lagi.
"Haruskah kau pergi menemui-Nya, sementara perjalananmu belum usai?" tanyaku.
"Itu rahasia-Nya," kataku.
"Itu tak adil," kataku.
"Kamu merasa kehilangan?" tanyanya.
"Ya. Aku tak bisa hidup tanpamu," kataku.
"Aku tak tenang mati tanpamu," katanya.
Ia memandangku. Menyeka air mataku. Ia tampak tersenyum. Ia kelihatan bahagia bisa bertemu pencipta-Nya. Mungkin! Ia memilih tidak ingin merasakan betapa sakit hati orang ditinggalkannya.
"Jangan bersedih," katanya.
Aku menahan tangis. Aku masih menatap rumahnya.
"Ayo, ikut denganku!"
Aku memilih berlari menjauh. Aku sungguh belum mau mati.
"Tidak!" teriakku.
"Bukannya kau tak bisa hidup tanpaku? teriaknya.
Aku terus berlari dan sejenak menjadi tuli.
21 Januari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H