Gebukan Takdir
Hidupku ketimpa sial hampir tiap saat. Kemana pun aku melangkah, sial mesti mengekor. Aku menganggap kesialan itu bayangan diriku. Selalu ada. Ada selalu ke mana pun kupergi! Pernah sekali aku berkenalan dengan perempuan. Kami ngobrol santai di taman. Sebelumnya sudah saling kenal via whatss app.
"Pa...pa...," panggil seorang anak kecil umur 3 tahunan.
Sontak aku ditampar gebetanku. Dikira aku lelaki hidung belang. Selepas gebetanku pergi, aku menimangnya. Seba ia bayi gemes yang entah di mana orang tuanya. Aku menoleh kiri kanan mencari orang tuanya. Eh, dari belakang aku digebuk. Beberapa polisi meringkusku dengan dugaan penculikan! Parah kan?
"Dulu, Ayah seperti kamu," ucap ayah.
"Ketiban sial terus, Yah?" tanyaku.
"Ya," jawab ayah.
Lalu ayah mulai bercerita tentang perjalanannya. Hingga pada menit tertentu, ayah menatapku tajam. Ayah seolah siap menerkam bagai srigala. Matanya melotot tajam.
"Aku diburu preman suruhan Kakekmu, ayah dari Ibumu, gara-gara kehadiranmu," cerita ayah dengan wajah garang.
"Kamu sial sejak dalam kandungan," lanjutnya.
"Jangan dibahas lagi, Yah," ibu mencairkan suasana.
"Ayahku sudah maafkan Ayah kan?" kata ibu.
Ayah terdiam. Ia mengangguk. Selama ini silaturahmi dengan kakek terjalin. Ayah dan ibu menganggap semua sudah baik-baik saja seiring waktu berjalan.
"Yah, ponselnya berdering," kata ibu.
Ayah menjawab telepon. Ekspresinya berubah. Ayah dipecat tanpa sebab.
"Sebelumnya, Pak Anton ke sini," kata dari seberang.
Ayah menatap ibu.
"Ayahmu ke ke kantor, hari ini aku mendapat informasi pemecatanku," kata ayah parau.
Bel rumah berdering. Salah satu suruhan kantor membawa amplop. Ayah bergeming.
16 Januari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H