Aku di-chat kekasihku untuk bertemu di kafe langganan. Tentu aku bahagia. Sebab aku tak perlu keluar biaya. Ia biasa menraktirku sehabis gajian. Maklum, aku laki-laki tersial di bumi, lalang buana mencari kerja, tak dapat jua. Untungnya aku memiliki kekasih setia yang tak memandang harta.
Aku menatap dari pintu kaca. Aku melihatnya di kursi sudut kafe. Aku tahu, itu dia, sedang asyik menyeruput jus kesukaannya. Sejenak aku mematung, membayangkan kebaikan dan keikhlasannya menjalin asmara denganku: laki-laki yang membeli kado dari uang pemberian ibu!
"Hai," sapaku.
Seperti biasa ia tersenyum dan menyilakan kududuk.
"Rapi amat?" celetuknya bergurau.
"Maklum, ketemu yang tersayang," godaku.
Ia hanya tersenyum.
"Ini tidak mahal seperti ekspektasimu," kataku sembari memegang tangannya.
"Aku pakaikan, ya?" kataku.
"Udah dapat kerja, bisa beli cincin ini?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"Minta uang Ibu," kataku.
Wajahnya seketika berubah. Aku tahu, ia tak suka jawabanku. Ia pernah bilang, aku harus mandiri. Ya, aku mau dan aku tahu. Mau bagaimana lagi, ijazahku hanya penghias lemari di rumah.
"Seharian aku membujuk Ibu untuk belikan cincin ini," kataku.
Ia menatapku tajam. Aku tahu ia tak suka. Seorang laki-laki dari meja seberang menatapku tersenyum. Aku memberi tanda untuk ia tak beranjak menghampiriku, tapi ia tidak mengerti.
"Pak Dev, aduh tidak sangka kita bertemu," kata laki-laki itu.
"Sayang, kemari! Kenalkan ini, Pak Dev, pemilik show room mobil tempatku bekerja," laki-laki itu memanggil istrinya.
Andini terdiam. Ia memastikan yang ia dengar. Sedangkan aku sibuk menyalami pasangan itu, Pak Riki dan istrinya.
"Kamu berbohong, Dev?"
"Andini, aku jelaskan nanti. Lanjutkan romantis ini," pintaku.
Andini mengusap air matanya. Ia beranjak pergi. Aku mematung, memandangnya yang bergegas berlalu.
16 Nov 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H