Tangisan di Ujung Telepon
"Tak ada lagi harapan, Ki. Semua cinta harus terkubur di sini," kata Rita dengan air mata yang meluncur di ujung pipi.
Riki terdiam menahan gejolak. Kerelaan melepas cinta yang ada sangat susah. Sebagai laki-laki sejati, hal ini harus dinikmati meski sakit.
"Bukankah kau mencintaiku? Seperti syai-syairmu tempo hari?" Riki menggenggam tangannya.
Rita menangis. Sejelas-jelasnya menjelaskan, pasti tak dipercaya. Ia tampak tersiksa oleh perjodohan orang tuanya. Feodalisme Jawa mengikat langkahnya.
"Ki, ini bukan tentang aku yang tak cinta. Ini kehendak ayah bunda. Tolong, pahami aku. Aku lebih tersiksa daripada kamu."
Riki mengingat hari itu. Hari terburuk selama hidupnya. Kenangan itu menghantui sisa hidupnya. Rita yang sudah ia kenalkan ke orang tua, pergi dengan tanda tanya.
Ia memutuskan untuk pergi juga. Tak tahan harus menderita tanpa Rita. Selesai menuliskan wasiat kepada orang tua, ia pergi ke jembatan dekat kampusnya. Tekad sudah bulat. Hanya saja ada niat untuk menghubunginya, untuk terakhir kali. Ia memutuskan untuk telepon. Deringnya begitu lama. Samar-samar ia mendengar suara tangisan.
"Halo, Nak, ada spa? Temannya Rita? Mayatnya baru saja dimandikan. Ia bunuh diri," jelas orang itu.
Riki terdiam. Membayangkan wajahnya sungguh menyakitkan.
13 September 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H