Harmoni Hujan
Sebulan berlalu. Kisah cinta yang menggebu tinggal sendu. Dulu berjanji, untuk saling mencintai, meski hidup dalam kekurangan dan beduri. Sepertinya, janji hanyalah janji yang selalu diingkari. Melepasnya itu bagian tersulit dalam diri. Memaksanya kembali, itu bukan cara lelaki sejati.
"Ting...tong...," bel rumah berbunyi.
Ia berdiri, bergegas ke pintu.
"Boleh masuk?"
Ia hanya mengangguk. Kesendiriannya terusik. Lisa anak tetangga sebelah selalu datang dengan bungkusan nasi gorengnya. Hanya Lisa, satu-satunya yang memahaminya. Lisa selalu siap mendengar curhatannya.
"Menangislah, jangan ditahan," kata Lisa.
"Apa aku harus menunjukkan kelemahanku setiap hari kepadamu?" Ia tersenyum dalam kepahitan kisahnya.
Lisa menatapnya dalam-dalam.
"Lelaki menangis karena cintanya kandas, ia tidak sedang menunjukkan betapa rapuhnya ia, tetapi bentuk cintanya yang tersuci dinodai," kata Lisa.
Ia terdiam. Matanya mulai berair, mengalir pelan di sudut mata. Lisa menatapnya, dan memintanya untuk terus menangis, sampai air mata itu habis.
"Habiskan air mata itu," kata Lisa.
Lisa mendekatkan duduknya. Ia mengelap air mata itu. Lisa memeluknya. Kehangatan ia rasa mengalir di sekujur tubuhnya.
"Sa, bolehkan aku bicara sesuatu?" katanya.
"Katakan, Ri."
Ari menghela nafas. Lisa mulai deg-degan.
"Apakah Ari mengatakannya sekarang?" pikirnya.
Lisa tersipu, saat Ari menatapnya. Wajahnya memerah ketika Ari menggenggam tangannya.
"Sa, pulanglah, mandi dulu, tubuhmu beraroma keringat,' kata Ari.
Wajahnya makin memerah.
"Aku pamit, Ri," katanya.
Ia beranjak dari duduknya dengan rasa malu yang sulit dijelaskan.
"Sa, nasi gorengmu enak," kata Ari.
10 September 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H