Pencapaian Baru di Hari Ulang Tahun
Entah angin apa yang membuatku punya satu keinginan di ulang tahun ke-45. Mungkin juga pemicunya adalah karena di FB, setiap orang yang berulang tahun dimotivasi untuk mempunyai tekad dan aksi nyata. Aku memikirkannya sih, hanya belum tahu apa bentuk nyatanya, apalagi hari-hari pada akhir September tiga tahun lalu, luar biasa repotnya.
Suatu malam, entah tanggal berapa, seorang kawan mengirimkan SMS, lalu aku menanyakan bila kelak akan ada acara mendaki gunung, apakah boleh bila aku ikut. Tak lama kemudian ia menjawab, "Boleh dong." Tapi itu hanya sebuah rencana, demikian pikirku, karena job editing yang harus kukerjakan belum beres. Maka, ngebutlah aku menyelesaikan editing buku yang kualitasnya alamak itu—tampaknya lebih enak bila diterjemahkan ulang. Detik-detik menjelang dinasku ke Magelang yang salah satu acaranya adalah mendaki gunung itu, editing tersebut selesai kukerjakan. Hanya tersisa appendix sebanyak 12 halaman. Jadi, aku pun melakukan persiapan bila rencana naik gunung itu terealisir—persiapan seadanya saja sih..
Di hari H, perasaan aku gojag-gajeg—kuat enggak ya aku mendaki. Karena dalam hal mendaki gunung itu, yang utama adalah masalah menaklukkan diri sendiri dan bertarung merebut oksigen. Syukurlah pimpinan pendakian di kelompokku selalu berhati-hati dalam memberi contoh. Langkah kaki tak perlu tergesa, tiap 20 langkah berhenti, istirahat, lalu jalan lagi. Terus begitu, hingga tak terasa 8,5 jam kemudian, kelompok kami tiba di Pos 3 Gunung Merbabu. Di etape terakhir aku terpaksa ditarik tali karena salah jalur—jalur pendakian yang pemuh dengan pasir dan di sebelah kiri serta kanan tak ada pijakan.
Sesampainya di Pos 3, aku langsung makan mie dan rebahan. Namun, maksud hati hanya rebah-rebahan, apa daya aku tertidur. Aku kemudian terbangun karena di tendaku ada seorang yang kedinginan dan seorang lagi mengalami flu yang agak berat. Dengan posisi setengah meditasi, aku tidur lagi. Pada pukul 02.45, aku terbangun dan ikut berkumpul sebelum summit attack.
Dan kemudian aku menyadari, ternyata peserta perempuan tinggal aku seorang, sehingga aku pun menanyakan apakah keberadaanku nanti tak menghambat perjalanan kelompok. Yang akan mendaki hingga puncak berjumlah 17 orang, termasuk diriku. Pimpinan pendakian menyatakan oke, lalu aku diberi tips dan semangat. Kami pun mendaki, dalam kegelapan menapaki bebatuan kali yang kadang-kadang tinggi tanjakannya. Belum lagi kalau harus melewati tanah berpasir.
Dalam pendakian ke puncak itu, aku berada di posisi tengah. Di depanku, ada orang tertentu yang bertugas membuka jalan. Jika aku lelah, mereka menunggu hingga aku meneruskan kembali perjalanan. Aku cukup sering ditarik oleh seorang kawan. Jika tanpa dia, tampaknya terlalu berat bagiku untuk terus naik.
Akhirnya kami tiba di dataran atas sekitar pukul 04.55. Sinar mentari sudah mengintip, dan tak lama kemudian langit bermandikan cahaya emasnya. Luar biasa indah! Setelah itu, perjalanan kami berlanjut sekitar 500 m hingga puncak utara Merbabu. Di salah satu tanjakan itu kami harus melipir di sekujur dinding batu. Setelah itu kami terus naik sampai ke puncak yang tertinggi. Wah... benar-benar deh, berada lebih tinggi dari Gunung Merapi. Di kejauhan tampak Gunung Sindoro, Sumbing, dan Lawu. Di kiri dan kanan, ada Gunung Telomoyo dan satu lagi Gunung Andong. Rasanya luar biasa, tidak heran mengapa para pencinta alam dari Unpar ngerela-relain menaklukkan seven summit of the world. Kalau aku sih tidak perlulah sampai ke sana, ini saja sudah lebih dari cukup. Gambaran tentang Gunung Merbabu yang kuidam-idamkan, kini tercapai. Aku melihat sendiri dan mengalaminya sendiri.
Kami kemudian turun dengan jalan perlahan-lahan dan tiba kembali di base camp Pos 3 saat jarum jam menunjukkan pukul 08.00. Setelah sarapan yang sudah tersedia, kami kembali ke desa di kaki gunung. Dalam perjalanan turun inilah aku merasakan penderitaannya, karena sepatu yang kupakai tak cukup luas untuk menahan desakan jari-jariku. Mula-mula jempolku yang senat-senut, lalu keempat jari lain tak mau kalah, sampai akhirnya kelima jari itu senat-senut semua. Syukurlah ada seorang kawan yang rela menuntunku perlahan-lahan untuk terus melangkah walaupun sakit.
Selepas Pos 2, aku mengontak rekan menceritakan keadaanku. Tak lama kemudian, muncul local guide. Tadinya ia hendak membantu mengangkat ransel-ransel kami, tapi melihat aku mengernyat-ngernyit, dia menawarkan diri untuk menggendong aku hingga di bawah. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menganggukkan kepala. Yang aku tidak pernah kuduga, dia membawaku di punggungnya sambil berlari! Astaga.....kuat amat, padahal beratku 60 kg, sementara dia 70 kg! Dalam beberapa kali istirahat, akhirnya 45 menit kemudian aku tiba di desa awal pendakian.
Buatku, ini pencapaian baru dalam hidupku. Banyak yang memuji ketahanan fisikku, tapi kalau aku renung-renungkan lagi, bukan itu sebenarnya yang aku miliki,melainkan keinginan dan tekad yang kuat. Fisikku tak ada apa-apanya—olah ragaku cuma menari di sanggar seminggu sekali, masing-masing selama dua jam, dan renang yang lebih banyak malasnya.
Dari pendakian ini aku belajar banyak tentang kesetiakawanan, saling percaya satu sama lain, keajegan, daya juang, dan kebergantungan kepada Tuhan. Tiba-tiba aja di kepala bermunculan banyakmakna baru untuk kata-kata seperti jalan, terang, tuntun, pelita, mendaki, menurun, langit, bintang, dan percaya. Ini adalah pengalaman nyata yang memperkaya nuansa kata di benakku dan nuansa batin hidupku. Sungguh sebuah peziarahan batin yang memukau di usia menjelang setengah abad...
Ah, andaikata kisah dan perjalanan mendaki Gunung Merbabu ini diperhitungkan untuk dilakukan setiap ada momen kebersamaan dan dimuat di Indotravel (www.indonesia.travel), pastilah semakin banyak orang yang mencintai alam Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H