Dalam sebuah kesempatan ke Senzchen, ortu membawakan oleh-oleh jam tangan merk Omega. Jam itu setia menemaniku. Dan ku juga oke dengan bentuk, bahan dan paduan kombinasi warna jarum jam dan backgroundnya. Sempat merasa bosan, karena warnanya abu-abu logam, tapi tak punya gairah mencari yang lain.
Ketika bertemu ibuku, Beliau memberiku lagi jam yang persis sama. Rupanya waktu di Senzchen beli dua buah, maksud hati mau kembaran dengan anak perempuannya, tapi apa daya mata tuanya tak sanggup membaca penunjuk jam itu. Jadilah aku punya dua buah jam yang sama persis.
Karena ada dua, jadi aku agak sembrono. Pake yang satu, yang lain masih tergeletak di meja, nggak langsung digantung di tempatnya. Begitu seterusnya, sampai suatu kali aku merasa kehilangan jam tanganku, karena tinggal satu di tempatnya. Pulang dari bepergian, aku melihat kilauan di lantai carport. Ternyata itu dia, jam tanganku. Udah keinjek ban mobil, hancur lebur pyur!
Karena tinggal satu, tak urung aku memakainya dengan lebih berhati-hati. Namun, gaya berjalanku yang selalu bersegera, suatu kali membenturkan lengan kiriku ke kusen pintu. Retaklah kaca jam tanganku. Jam tanganku cacat sudah. Kadang-kadang aku harus memiring-miringkannya untuk melihat jam berapa. Walau agak terganggu, tapi waktuku tak pernah cukup membawaku ke tempat reparasi jam. Suatu sore bisa juga aku mampir dan mengganti kaca retaknya dengan yang baru. Aku senang dan mataku pun tak perlu bersusah payah melihat penunjuk jam.
Kaca beres, pengaitnya kendor. Jadi, kadang-kadang aku menyetir dengan jam tangan yang terbuka di lengan kiriku. Sudah aku sempat-sempatkan membetulkannya ke tempat langganan, jawabannya hanya gelengan kepala. Mungkin jam ini sudah uzur. Ya sudahlah, tak apa kalau sering terbuka dengan sendirinya, yang penting masih berfungsi dengan baik.
Suatu ketika, anakku meminjam jam tangan veteranku. Tidak dipakainya namun hanya dilihatnya untuk mengukur sebuah aktivitas. Karena asyik, akupun terlupa. Saat hendak menyetir pulang, barulah aku merasa kalau jam tanganku raib. Kami segera memutar dan kembali ke tempat anakku meletakkannya. Namun jam itu raib selama-lamanya.
Tanpa kehadirannya, aku merasa gamang setiap kali akan mengukur sebuah aktivitas. Memang ada jam di kendaraanku atau di hapeku, namun serasa ada yang kurang dengan raibnya jam tanganku itu. Kini hari kelima aku tak memakai jam tangan. Entah sampai kapan lengan kiriku menanti hadirnya jam tangan baru.
Iseng-iseng aku mencari di benda-benda kesayangan anakku, dan....sebuah jam tangan waterproof tergeletak manis di sana, hanya agak kotor. Aku pun mengambilnya dan akan mengganti tali plastiknya dengan tali kulit. Semoga yang ini pun awet, seperti kedua jam tanganku yang sudah almarhum itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H