Lihat ke Halaman Asli

Yuliana dan seorang pasien RSJ

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini merupakan hari pertama Yuliana beserta mahasiswi akademi keperawatan  lainnya menggelar praktek di sebuah rumah sakit jiwa di kota Makassar. Masing-masing calon perawat itu sudah mendapatkan pasien yang akan mereka tangani dan mereka pelajari. Yuliana melihat kembali buku catatan yang dipegangnya, kembali membaca dengan seksama hal-hal penting dalam menangani pasien dengan gangguan mental itu. Nama pasien yang akan menjadi tanggung jawabnya adalah Awan, umur dua puluh delapan tahun dan tampaknya ia pasien dari luar daerah bukan asli Makassar. Jemarinya akhirnya menutup kembali buku catatan tentang pasiennya itu. Sungguh kali ini Yuliana merasa cemas, ini pengalaman pertamanya untuk merawat atau bahkan dekat-dekat dengan orang yang mengalami gangguan mental yang paling umum disebut masyarakat adalah orang gila. Berbagai andai-andai muncul di benaknya dan berbagai kemungkinan tersusun di kepala Yuliana. Gadis cantik berkulit putih itu menghela napas panjang seakan hembusannya adalah penghalau pikiran-pikiran negatifnya yang sekejap muncul dan membuatnya ciut. Dokter pembimbing mereka berpesan agar mereka tidak terlibat dalam ikatan emosi yang kuat dengan para pasien, bekerja lah dengan seprofesional mungkin. Tiba-tiba dari arah belakang Yuliana dikejutkan dengan satu tepukan keras di punggungnya,

“Hayoooo…! Pasti kamu sedang melamun !” suara keras Fitria sahabatnya benar-benar membuyarkan segenap pikiran Yuliana.

“Fit ! kamu bikin orang kaget saja, tidak enak tahu !” protes Yuliana.

“Belum apa-apa kok rasanya stress duluan yaa ? Kamu rasa tidak semenjak menginjakkan     kaki di sini aku jadi gugup tidak tahu harus berbuat, aku takut dekat-dekat dengan mereka.” Ujar Fitri dengan cemas, pasti teman-teman yang lain juga merasakan hal yang sama, tentu bukankah ini adalah pengalaman pertama mereka ? Yuliana mengangguk lemah ingin membenarkan dan menyamakan perasaannya dengan Fitri.

“Tapi dokter pembimbing bilang kan pasien yang akan kita tangani sudah menjalani pengobatan jadi aku rasa tak seburuk kita bayangkan.” Jawab Yuliana untuk menenangkan Fitria meski kalimat itu sendiri ia tujukan juga untuknya pribadi.

“Kamu dapat pasien bagaimana Fit ?” lanjut Yuliana lagi,

“Seorang perempuan setengah baya, namanya ibu Tati, mengalami trauma karena putrinya satu-satunya tewas dalam kebakaran rumahnya. Kamu sendiri ?”

Yuliana membuka sekilas buku catatannya dan menutupnya cepat.

“Laki-laki, namanya Awan korban bencana alam tsunami di Aceh dulu.” Yuliana terdiam juga Fitria, mereka tengah berpikir apa yang akan mereka hadapi esok hari.

***

Pagi sangat cerah di kota Makassar, Yuliana melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri menyusuri selasar rumah sakit jiwa ini. Tak lama ia bertemu dengan seorang perawat yang akan mengantarkannya kepada pasiennya selama ia praktek di sini. Perawat perempuan itu tampak usianya jauh di atas Yuliana sekilas menatap mata perawat senior itu Yuliana melihat sorot mata kesabaran dan ikhlas di dalamnya. Mereka sudah sampai di depan kamar Awan, dan perawat senior itu pun meninggalkan Yuliana setelah memberikan beberapa informasi tentang Awan. Yuliana tertegun, apa yang dibayangkannya kemarin-kemarin jauh dari apa yang tengah ia lihat. Awan berpakaian rapi, rambutnya yang pendek dan basah menandakan ia sudah mandi dan tercium pula aroma wangi yang berasal dari parfum yang digunakan Awan. Laki-laki yang di hadapannya ini memakai baju kaos berwarna putih dengan tulisan Djogja di bagian dadanya, bercelana panjang levis serta memakai sepatu. Kulitnya putih bersih, matanya agak sipit, alis tebal serta bibir Awan yang kemerahan, Yuliana memastikan nikotin tak pernah sampai di bibir pasiennya yang tampan ini.

“Selamat pagi Awan, perkenalkan nama saya Yuliana, kamu bisa panggil saya dengan suter Yuli.” Yuliana menyodorkan tangannya kepada Awan namun respon Awan di luar dugaan, Awan melangkah mundur dan menjauhi Yuliana. Alis Yuliana terpaut tanda terkejutannya serta otaknya yang mulai bekerja agar ia bisa mendekati Awan. Yuliana perlahan mendekati Awan, sorot mata Awan tajam menatap ke arah Yuliana, segera Yuliana membalasnya dengan senyuman ramah dan bersahabat.

“Awan, saya hanya ingin berteman dengan kamu, kamu jangan khawatir, saya tidak akan menyakiti kamu. Kita duduk di bangku itu yaa ?” bujuk Yuliana. Awan masih tidak bergeming, namun kelembutan suara Yuliana mampu merubah sorot tajam mata Awan menjadi lunak. Yuliana mendekati Awan sambil tetap tersenyum, perlahan ia menggandeng tangan Awan dan mengajaknya duduk di bangku taman yang ia tunjuk tadi. Awan menurut dan berjalan pelan di samping Yuliana. Mereka berdua duduk dan saling diam beberapa saat. Yuliana masih memutar otak agar ia bisa berbincang-bincang dengan Awan namun harus tetap membuat pasiennya ini merasa nyaman berada bersamanya. Ia khawatir jika mendadak Awan kabur dan tak ingin bertemu lagi dengannya.

“Nama lengkap kamu siapa Awan ?” tanya Yuliana agar ia bisa tahu apakah Awan sudah mengingat dirinya sendiri.

“Teuku Muhammad Awan.” Jawab Awan singkat, Yuliana tertegun, Awan seorang yang masih berdarah biru dari Aceh, jauh sekali ia dari kampung halamannya.

“Suster sendiri siapa dan dari mana ?” tanya Awan setekah terdiam cukup lama.

“Nama saya Yuliana, saya berasal dari kota Palopo.” Jawab Yuliana dengan senyum kecilnya. Awan menoleh ke arah Yuliana dan memandangya lekat-lekat, Yuliana merasa risih dan mengalihkan pandangannya dari Awan ke arah sebatang pohon asam yang tengah berbuah tak jauh dari mereka duduk.

“Apa kota Palopo jauh ?” tanya Awan lagi, mau tak mau Yuliana kembali menatap Awan dan mengangguk,

“Iya, Awan, ada sekitar delapan jam dari kota Makassar ini.” Jawab Yuliana ramah. Awan sudah mengalihkan pandangannya dan tak menatap ke arah Yuliana lagi.

“Tapi Aceh lebih jauh lagi dari pada kotamu Suster.” Suara Awan terdengar berat dan seperti keluhan.

“Jadi kamu merindukan tempat asalmu Awan ?” tanya Yuliana dengan nada lembut dan berhati-hati. Awan mendesah perlahan, matanya memandang lurus ke depan.

“Tapi saya sudah tidak punya apa-apa lagi di sana Sus, syukur masih ada seorang paman yang membawa saya ke kota ini dan tempat ini.”

Yuliana merogoh kantong bajunya, ia baru ingat jika tadi ia membeli beberapa batang coklat. Ia kemudian mengansurkan tiga batang coklat itu kepada Awan,yang wajahnya nampak mendung.

“Ini buatmu, saya harap kamu suka coklat.”

Awan kemudian tersenyum sambil meraih batangan coklat itu. Sebatangnya ia berikan kembali ke Yuliana,

“Ini buat Suster, kita makan sama-sama.”

Yuliana tersenyum dan mengambil kembali coklat yang diangsurkan Awan, mereka berdua menikmati coklat itu. Awan kemudian bercerita tentang kebaikan dan keramahan para perawat yang selama ini merawat Awan dan kunjungan pamannya yang sesekali menjenguknya di rumah sakit jiwa ini. Nyaris saja Yuliana menyimpulkan jika Awan ini orang yang sehat jika ia tak mengingat catatan tentang Awan yang masih berteriak histeris jika mengenang tsunami yang meluluh lantakkan seluruh kehidupannya.

“Coklat ini enak sekali, terima kasih yaa Suster, oh yaa … Suster Yuliana cantik sekali saat tersenyum, saat tak tersenyum pun kamu tampak cantik.” Kalimat yang keluar dari mulut Awan hampir membuat jantung Yuliana bergeser dari tempatnya.

***

Pagi kali ini disaput mendung, sisa-sisa hujan di jalanan yang basah cukup membuat pagi tampak suram. Yuliana merapatkan cardigan abu-abunya, hawa dingin cukup membuatnya bergetar. Hasil pertemuannya dengan Awan sudah ia catat semalam, sambil mencatat ia mendengar beberapa keluhan tentang ulah para pasien yang menyulitkan teman-temannya. Bahkan Fitria pun hampir putus asa menangani ibu Tati yang kerap teriak-teriak memanggil nama anaknya. Yuliana tersenyum tipis, ia bersyukur jika pasien yang ia dapat justru bersikap sangat manis. Teman-temannya juga tak ada yang tahu jika Awan itu tampan sangat tampan malah dengan wajah yang agak oriental dengan bibir tipis yang memerah. Awan seharusnya tak berada di sini tetapi di sebuah kotak yang bernama televisi yang menayangkan drama-drama Korea.

Yuliana memperbaiki posisi kerudungnya dan memeriksa kantong cardigannya yang berisi sebatang coklat buat Awan. Langkah kakinya dipercepat, namun samar-samar ia mendengar suara laki-laki yang tengah berteriak keras, juga beberapa perawat yang tengah menenangkan suara yang berasal dari kamar Awan. Yuliana bergegas menuju kamar Awan, matanya membulat terkejut dan mendadak jantungnya berdegup keras, Awan tengah dipegangi beberapa perawat, ia menangis meraung, kulit putihnya berubah memerah dengan dibanjiri peluh. Perawat yang ditemui Yuliana juga tampak di sana dan tiba-tiba beradu pandang dengan Yuliana, dengan satu kali anggukan dagu perawat itu memerintahkan Yuliana untuk mendekat dan turut membantu mereka. Dengan ragu-ragu Yuliana mendekat dan memegangi lengan Awan, sejenak Awan menatap Yuliana, tangan dingin Yuliana menarik perhatian Awan dan mengendurkan sedikit kekuatannya. Awan tertunduk lesu dan kemudian menangis terisak-isak seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya.

“Coba lah untuk tenang Awan,” pinta Yuliana dengan suara lembut. Suara Yuliana tak hanya menarik perhatian Awan namun juga para perawat yang mengelilingi Awan.

“Tak ada yang tersisa lagi dalam hidupku, semuanya sudah diambil, saya tidak punya apa-apa lagi…”  suara serak Awan terdengar pilu. Ia mulai tenang dan tak lagi berontak. Yuliana sejenak memandangi perawat senior itu ia seperti minta ijin agar dibiarkan bicara dengan Awan. Perawat itu mengangguk tanda setuju.

“Mereka tetap ada Awan, mereka tak pernah meninggalkanmu. Tenang lah kami di sini semua untuk menjadi temanmu Awan.” Suara Yuliana begitu menghipnotis Awan, ia mulai tenang tangisnya pun sudah tak terdengar lagi. Perawat senior itu memeriksa kembali keadaan Awan dan memastikan tak ada luka di tubuhnya. Sesaat setelah Awan benar-benar tenang perawat yang lain meninggalkan Awan dan perawat senior bersama Yuliana. Keduanya mencoba membujuk Awan agar tidur sejenak. Awan menurut untuk naik ke tempat tidur dan menarik selimutnya. Tak lama Awan akhirnya benar-benar terlelap, Yuliana tak bergerak sedikit pun dari sisi tempat tidur Awan.

“Apa yang terjadi Bu ?” tanya Yuliana kepada perawat senior itu.

“Ini kejadian biasa, tapi beberapa bulan terkahir ini ia menunjukkan perilaku yang baik entah mengapa pagi ini ia kambuh lagi.”

“Jadi ini kejadian pertama setelah beberapa bulan Bu ?” tanya Yuliana memastikan tentunya hal ini menjadi bagian dari catatan tugas observasi pasien. Sejenak hening, perawat senior itu terdiam mencoba memperjelas ingatannya,

“Iya, gejala yang ditampakkan lagi oleh Awan setelah berbulan-bulan lamanya tenang, padahal saya sudah mengira dia tidak lama lagi akan keluar dari rsj ini.” Sambung perawat senior dan bersiap akan meninggalkan ruangan.

“Kamu boleh ikut saya melihat catatan-catatan lain tentang Awan jika kamu membutuhkannya sampai menunggu Awan bangun.”

Yuliana sejenak memandangi Awan yang tertidur pulas, namun buat apa juga ia berlama-lama di sini lebih baik ia mengikuti ibu perawat itu .

***

Seminggu sudah Yuliana bertugas mengobservasi dan menangani pasien rsj bernama Awan ini. Ia tak pernah lagi  mengamuk seperti hari itu justru ia semakin akrab bersama Yuliana. Yuliana kerap menemani Awan makan siang dan setiap hari membawakan sebatang coklat. Yuliana sering dibuat tersenyum bahkan tertawa jika Awan menyambutnya dengan rangkaian bunga yang ia petik di taman-taman rumah sakit. Awan merangkai bunga boegenvil dan sebatang mawar ia selipkan di tengahnya. Kedatangan Yuliana adalah hal yang paling ditunggu Awan setiap harinya hingga pada hari kesembilan di bangku taman di mana mereka pernah duduk bersama pertama kalinya,

“Awan, hari ini saya datang ingin memberikan sesuatu ke Awan.” Yuliana mengangkat kantong kresek hitam yang ia bawa dan mengeluarkan isinya.

“Awan, saya pulang besok, tugas praktek saya sudah selesai. Sebagai kenang-kenangan dari saya, ini ada baju kaos, beberapa sabun mandi, parfum dan sekotak coklat, Awan terima ya ?” Yuliana menyodorkan tumpukan barang yang ia sebut tadi dan sudah ia kembalikan ke dalam kantong plastik itu. Awan terdiam, ia menunduk lesu,

“Suster Yuli pernah janji kalau suster tidak akan pernah meninggalkan saya.” Katanya pelan dengan wajah mendung persis saat pertama mereka bertemu. Deg ! Yuliana mendadak cemas, ia berharap Awan akan menerima kenyataan jika Yuliana hanya mampir sebentar di kehidupannya.

“Maaf Awan, andai saya kerja di rumah sakit ini mungkin kita akan tiap hari bertemu. Tapi… saya… harus kembali menyelesaikan pendidikan saya Awan.” Terang Yuliana pelan-pelan. Awan menghembuskan nafas berat ia mengambil sesuatu dari kantong celana gombrongnya.

“Apa Suster Yuli mau menerima ini ?” Awan menyodorkan selembar foto kepada Yuliana. Tak ingin mengecewakan Awan tangannya perlahan menerima foto itu dan mengamatinya dengan seksama. Yuliana merasa tenggorokannya mendadak kering, di dalam foto itu terlihat Awan yang sangat tampan bersama seorang gadis yang mirip dengan dirinya. Gadis yang sedang tersenyum  sangat manis, berkerudung putih seperti warna kerudung yang ia kenakan sekarang.

“Namanya Amelia, calon istri saya dan Amelia ikut tewas dalam bencana tsunami itu tiga hari menjelang pernikahan kami.” Awan masih mengingat dengan jelas nama calon istrinya dan melafalkannya tanpa beban sedikit pun.

“Dia cantik Awan.” Hanya kalimat itu yang Yuliana mampu ucapkan. Sementara Awan terdengar tertawa kecil.

“Dia mirip Suster Yuli kan ? hanya saja postur tubuh Amelia lebih sedikit kecil dibanding Suster.” Lagi-lagi Awan tertawa kecil.

“Suster Yuli simpan saja foto itu saya tidak membutuhkannya lagi, paling tidak Suster bisa mengenang seorang pasien seperti saya di foto itu.”

Yuliana hanya terdiam lama tak tahu harus berkata apa, yang ia ingat hanya kalimat dokter pembimbingnya “jangan terlibat emosi yang dalam dengan pasien !”

“Terima kasih Awan tapi … saya merasa tidak berhak menyimpan foto ini. Bukan kah ini milikmu yang paling berharga ?”  tanya Yuliana ragu. Awan terdiam, ia mendongak melihat langit, bentukan-bentukan awan begitu unik dan menarik. Ada senyum di bibir Awan  entah apa karena bentukan awan di langit atau penolakan suster yang dekat dengannya seminggu lebih ini. Yuliana melirik jam tangan mungilnya yang melingkar di pergelangan tangan, siang ini ia harus pulang bersama teman-temannya yang lain. Yuliana menyimpan selembar foto Awan bersama Amelia di telapak tangan Awan.

“Simpan lah kembali untukmu Awan, cukup dengan mengenalmu di sini itu sudah lebih dari cukup dan keberuntungan bagi saya, jaga diri baik-baik yaa Awan.” Yuliana melemparkan senyum terbaiknya kepada Awan dan Awan membalasnya dengan senyuman pula. Awan memandangi punggung Yuliana yang semakin jauh dan menghilang di tikungan selasar rumah sakit. Awan memandangi foto itu lagi dan tersenyum, ia memegangi dadanya dan merasa ada yang nyeri di dalam sana.

***

Jauh… jauh setelah kunjungan praktek Yuliana di rumah sakit jiwa itu, seorang laki-laki duduk di bangku taman dan jemarinya sibuk merangkai sesuatu. Di sampingnya tergeletak bunga boegenvil dan bunga mawar. Ia merangkainya menjadi seikat bunga yang sangat indah setelah rangkaian bunga itu selesai ia duduk lama seperti menunggu seseorang.

“Suster Yuli pasti akan datang hari ini, bunga ini telah kusiapkan untuknya.” Ia kemudian memandang langit dan tersenyum lebar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline