Hening. Itulah suasana yang kutangkap ketika mengunjungi pekuburan ini. Memang begitu seharusnya suasana pekuburan. Hanya angin yang berhembus menggoyangkan daun-daun pohon kamboja. Aku datang dengan membawa buku kumpulan puisiku. Aku khusus membawa ini untuknya. Untuk ia yang ku cintai. Ia yang telah menyatu dengan tanah. Ia yang pergi, bahkan ketika kami belum lulus SMA......
*****
“Vera, Surya, kalian dipanggil kepala sekolah.” Kata Dion, salah seorang teman Surya kepada kami. Kontan kami kaget. Ya, kami memang tahu bahwa telah melanggar aturan asrama dan sekolah dengan berpacaran. Mungkin karena itu kami dipanggil.
“Oh iya. Terima kasih atas pemberitahuannya.” Kata Surya kepada temannya itu. Kami pun berjalan menyusuri lorong-lorong sekolah yang ramai karena sekarang memang jam istirahat. Sampai di depan ruangan kepala sekolah, Surya mengetuk pintu. Terdengar suara samar-samar mempersilahkan kami masuk.
“Bapak memanggil kami?” kata Surya dengan suara sesopan mungkin. Bagaimana tidak?! Orang yang ada di depan kami ini adalah orang nomor satu di sekolah. Apa pun bisa terjadi jika sudah ia putuskan.
“Kalian tentu sudah tahu alasan saya memanggil kalian. Kalian telah melanggar aturan dengan berpacaran. Apa kalian sadar akan hal itu?” kata kepala sekolah dengan nada seperti biasa. Tegas.
“Iya, Pak. Kami sadar telah melanggar aturan” lagi-lagi Surya yang berkata. Dia memang lelaki hebat. Setelah menarik nafas ia pun segera melanjutkan, “Kami memang telah melanggar aturan denagn berpacaran tapi kami tetap menjaga konsentrasi kami dalam belajar sehingga prestasi kami tetap terjaga. Apa hal itu juga dilarang, Pak?”
“Baiklah kalau itu yang kalian mau. Tapi ingat, prestasi kalian tidak bolah terganggu. Sedikitpun! Jaga konsentrasi kalian untuk ujian nasional nanti.”
Teng.......... Teng.............. Teng................ Seiring dengan berakhirnya perkataan pak kepala sekolah, istirahat pun berakhir.
“Kalau begitu kalian boleh keluar. Ikuti pelajaran dengan baik.”
“Baik, Pak. Terima kasih.” Kataku dan Surya bersamaan sembari keluar dari ruangan kepala sekolah.
*****
Aku dan Surya terpisah di depan kelasku. Ya, aku dan Surya memang berbeda kelas. Aku di kelas Bahasa sedangkan ia di kelas IPA. Aku beruntung sebab ketika aku masuk kelas, yang sudah terlambat, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia malah lebih terlambat dariku. Seperti biasa aku duduk di samping Sari, teman baikku.
“Cie.......yang baru selesai berduaan.” Goda Sari dengan senyum penuh arti ketika aku baru merebahkan diri di kursi.
“Siapa bilang berduaan? Kami barusan bertigaan, tau!”jawabku ketus.
“Bertigaan?? Maksudnya??”
“Kami bertigaan bersama kepala sekolah” Aku pun menceritakan segala yang terjadi dan yang tadi dikatakan oleh kepala sekolah. Lagi-lagi keberuntungan berada di pihakku. Selesai bercerita, Pak Thomas, guru Bahasa Indonesia kami masuk ke dalam kelas. Kalau saja pak Thomas belum masuk, kupingku bisa panas mendengar segala celotehan Sari. Tanya inilah, goda itulah. Pokoknya macam-macamlah celotehannya untuk mencari tahu. Itu resikonya punya teman yang cerewet. Saat Pak Thomas masuk, ia langsung memanggil aku.
“Aduh ada apa lagi ini?? Sepertinya hari ini, guru senang sekali memanggil aku.” Gerutu hatiku. Mana berani aku berkata keras.
“Vera, kamu terpilih untuk mewakili sekolah dalam lomba baca puisi di Surabaya. Lombanya sebulan lagi. Saya harap kamu bisa mempersiapkan diri dengan baik.”
“Iya, Pak.” Hanya itu yang bisa kujawab. Aku memang senang menulis dan membaca puisi. Dan inilah impianku. Mengikuti lomba untuk mengukur kemampuanku jika dibandingkan dengan orang lain. Dewi Fortuna memang menyertaiku hari ini. Aku harus memberi tahu hal ini pada Surya.
Saat bel pulang berbunyi, aku langsung menuju ke kelas Surya. Kami berjalan bersama menuju asrama. Dalam perjalanan itu, aku menceritakan tentang lomba puisi di Surabaya. Dan Surya, bukannya memanggapi apa yang aku bicarakan. Ia malah mengomentari rambutku.
“Vera, sebaiknya kamu me-rebonding rambut. Aku yakin kamu pasti menang dalam lomba itu.”
“Tidak.” Tolakku dengan tegas. “Surya, lomba itu tentang puisi bukan fashion. Jadi biarpun rambutku berombak, atau keriting sekali pun, bukan tidak mungkin aku bisa menang hanya lewat caraku membawakan puisi itu.”
“Yah, up to you-lah.”kata Surya akhirnya dengan sedikit menarik nafas. Padahal dari situ ada sesuatu yang kurencanakan.
*****
Dua hari sebelum keberangkatanku ke Surabaya, aku mengajak Sari ke salon untuk me-rebonding rambut. Dalam perjalanan ke salon, aku dan Sari memperbincangkan Surya. Akhir-akhir ini dia terlihat begitu lemah. Begitu pun hari ini. Wajahnya terlihat mendung untuk ukuran cowok seceria dia.
Akhirnya setelah melewati proses berjam-jam, rambutku selesai direbonding. Saat kembali ke asrama, kulihat suasana begitu sunyi. Tak biasanya suasana sesunyi ini. Aku dan Sari tetap berusaha mencari Surya dengan wajah ceria untuk menujukan padanya rambut baruku. Saat bertemu dengan Dion, aku bertanya,
“Dion, Surya di mana?”
“Hah...... kamu tidak tahu apa yang terjadi pada Surya?” Aku mulai gugup. Raut ceria seketika hilang dari wajahku.
“Surya meninggal dua jam yang lalu karena penyakit kenker otaknya sudah sangat parah. Apa kamu tidak tahu hal itu?”
“Apa? Kanker otak? Tidak mungkin!” Seluruh tubuhku terasa bagitu lemah. Kedua kakiku tak mampu lagi menahan bebannya. Aku pun tertunduk lemas di lapangan. Aku merasa Surya begitu jahat. Kenapa ia meninggalkanku di saat seperti ini?
Saat jenazahnya disemayamkan, air mataku tak dapat keluar setetes pun. Aku hanya bisa menatap lirih ke arah jenazah orang yang kucintai. Ia yang begitu ceria dan aktif, kini telah terbujur kaku dan pasif dalam peti.
*****
“Peserta berikutnya, Vera Anggraini dari SMA Suradikara.”kata pemandu lomba. Aku pun maju ke atas panggung. Tidak membawakan puisi yang selama ini kulatih, melainkan membawakan puisi yang secara spontan muncul dalam otakku ketika di atas panggung. Awan Hitam Berarak. Hanya judulnya yang dapat kuingat. Terlalu sakit rasanya mengingat setiap bait dalam puisi yang membuatku sesunggukan itu. Aku tak berharap untuk menang. Hanya membawakan perasaan tentang kepergian Surya saja sudah membuatku lebih tenang. Tak kuduga, kenyataan tak seindah impian. Aku memenangkan lomba sebagai juara pertama. Sama sekali tak kusangka hal itu terjadi.
*****
Sepulang lomba di Surabaya, aku mengunjungi makam Surya. Segala kegembiraan, semua kemarahanku terhadap Surya kuluapkan di sini. Sambil menangis tersedu-sedu, terus kuteriakan di samping makam Surya. Setelah merasa lebih tenang, aku kembali ke asrama. Karena begitu capek, aku langsung tertidur diranjang. Dalam tidurku, aku bermimpi melihat Surya.
“Vera, aku mohon jangan membenciku. Ini semua sudah kehendak Tuhan. Inilah takdir. Dan kamu tahu kita tidak bisa melawan takdir. Awan hitam telah berarak pergi dan aku yakin akan datang awan putih yang bisa menerangi hidupmu lagi. Apa kamu mau berjanji untuk tidak membenciku?”
Surya menyodorkan jari kelingkingnya. Memintaku untuk berjanji. Itu memang cara kami ketika ingin berjanji satu sama lain. Tanpa sadar, aku menyodorkan jari kelingkingku. Setelah mengaitkannya kami berkata,
“Janji adalah hutang dan hutang harus dibayar meskipun butuh pengorbanan.” Setelah itu Surya berkata lagi,
“Vera, kamu terlihat cantik dengan rambut lurus.” Belum sempat aku menjawab perkataannya, Surya telah menghilang. Tanpa meninggalkan jejak apa pun. Aku pun sadar, kini aku telah sendirian. Namun benar kata Surya, awan hitam telah berarak pergi dan akan datang lagi awan putih yang bisa menerangi hidupku. Terima kasih, Surya. Kau menyadarkanku dari keterpurukan setelah kepergianmu.
*****
Puisi dalam bukuku telah selesai kubaca sembari mengingat saat-saat bersama serta kepergian Surya. Aku sudah tidak lagi membenci Surya. Aku akan tetap dan selalu berusaha menghidupakannya dalam setiap bait puisiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H