Masih berlanjut dari obrolan daring di grup Whatsapp kami kemarin yang membahas cara lain dalam memandang datangnya TKA China di bumi Indonesia, percakapan meluas sampai hal yang jatuhnya jadi mirip-mirip teori konspirasi. Tapi bukan teori konspirasi beneran lho, hanya mirip-mirip. Apakah itu? Suatu "new normal world" atau dunia normal yang baru.
Menanggapi pernyataan saya tentang saya yang tidak mampu bekerja dengan etos sekuat para dokter China di Wuhan saat terjadi wabah corona, teman saya berkomentar "Halah Indonesia lagi apa mau kaya wuhan dokternya ga pulang pulang selama wabah...disuruh psbb aja jalanan msh ramee apalgi pas mau buka,, ya susahh bandelnya poll,,,"
Komentar yang bukan tanpa alasan, wabah di Wuhan bisa selesai dalam sekian hari (dua bulan) karena dilakukan lock down dan aturan yang diberlakukan dilaksanakan dengan tertib oleh temannya. Lha di sini? Meskipun Jakarta sudah PSSB, orang-orang masih semangat ngabuburit mencari takjil. Duh Gusti ... Corona kalah seram dibandingkan buka puasa tanpa takjil.
Dari sini saya tuliskan dengan mode bacaan saja ya, bukan dengan mode percakapan. Lebih mudah nulisnya. Ehe ...
Tapi kan kurva penderita yang baru sudah mulai turun? Iya, turun. Tapi saat kita sudah melewati puncak, belum tentu kita benar-benar sudah melewati puncak. Seperti kurva yang diunggah oleh akun Twitter Eli Pariser, waktu wabah Flu Spanyol tahun 1918 terdapat semacam "puncak palsu" di awal wabah. Puncak yang jauuuh lebih kecil dari puncak yang sebenarnya.
Bagaimana kalau kurva penderita (baru) kita turun semata-mata karena kita sedang puasa? Jadi lemas dan nggak minat pergi kemana-mana kecuali saat menjelang berbuka? Bagaimana jika begitu peraturan dilonggarkan, PSSB selesai, dan booom! Orang-orang kembali memenuhi jalanan dan angkanya (angka penderita baru) naik dengan cepat.
Bagaimana kalau vaksin tidak juga ditemukan?
Vaksin yang tidak ditemukan mungkin merupakan kemungkinan yang paling menyedihkan. Mengapa? Karena pada akhirnya kita harus hidup berdampingan dengan virus corona baru ini. Jika demikian, tidak menutup kemungkinan akan terjadi suatu kondisi "normal" yang baru. Dunia normal yang baru.
Dunia normal yang baru, tempat di mana:
- pasca terjadi depopulasi
- jarak antar manusia minimal 2 meter
- ibadah dari rumah
- pengajaran jarak jauh dan homeschooling (SD ganti kejar paket A, SMP kejar paket B, SMA kejar paket C, kuliah di UT)
- pemakaian AI dan otomatisasi di mana-mana
- dokter pakai telemedicine dan robot (untuk tindakan operatif)
- syukuran pakai delivery
- pemakaman hanya dihadiri keluarga inti atau justru tidak sama sekali
- jual-beli online semua
- orang kembali menanam makanannya sendiri
Apa lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H