Lihat ke Halaman Asli

TKA China, Hari Buruh, dan Nasib Kita Semua

Diperbarui: 1 Mei 2020   18:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: index news Banten

Pagi ini seorang teman membagikan video yang berisi penolakan gubernur dan DPRD Sulawesi Tenggara akan kedatangan 500 orang tenaga kerja asing (TKA) asal China. "Jempol buat gubernur dan DPRD" begitu caption yang menyertai video tersebut.

"Ah, pasti tetap masuk," komentar teman saya yang lain, "sudah merupakan bagian dari kontrak yang ditandatangani dengan pihak investor."

"Tapi tega banget, kapan wabah ini akan selesai?" Komentar teman yang lain, "rakyatnya sendiri diminta jaga jarak tapi orang dari luar malah boleh masuk."

Perdebatan yang ada dalam WhatsApp grup kami ternyata sekali tiga uang dengan berita utama yang beredar di media massa. Terdapat kekhawatiran masyarakat jika tenaga kerja asing ke wilayah Indonesia di saat pandemi COVID19 masih berlangsung. Isu ini lebih menarik lagi sebab dibahas pada tanggal 1 Mei diperingati sebagai hari buruh sedunia.

Bukan hanya masalah virus corona baru yang masih harus dihadapi oleh kita semua namun juga masalah bahwa masih banyak warga negara Indonesia (WNI) yang membutuhkan pekerjaan. Kesannya pemerintah kita terlalu lemah terhadap permintaan investor asal China yang ingin menggunakan tenaga kerja dari negara tirai bambu tersebut.

Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya ingin memberikan peringatan bahwa posisi saya saat ini adalah netral, tidak mendukung maupun menolak dan tulisan ini adalah bersifat opini semata. Ada sebuah analogi yang dapat saya tawarkan dalam memahami masalah ini.

Saat ini, saya menempati rumah milik mertua yang biasanya disewakan. Rumah ini baru diperbaiki sebelum kami tinggali. Masalahnya, kualitas tukang di daerah kami cukup menggelisahkan.

Kondisi rumah kami cukup mengesalkan: lantai kamar mandi rata sehingga air tidak dapat mengalir ke saluran pembuangan. Dapur miring ke arah bawah kompor yang berlawanan arah dengan saluran air. Teras miring ke arah dalam rumah. Teras bagian belakang rumah yang agak mirip dengan gang memiliki saluran air di sebelah timur tapi lantainya miring ke barat.

Bayangkan bagaimana kesalnya tinggal di rumah yang dikerjakan asal-asalan kaya gitu. Apalagi saya yang memang dasarnya agak cerewet. Gedeg.

Padahal saya tinggal menempati rumah tersebut, tidak perlu membayar sewa, dan yang jelas tidak mengeluarkan uang untuk biaya renovasi rumah yang berkisar di atas 100 juta.

Saking kesalnya saya sampai mengajukan pada suami, "nanti kalau kita bikin rumah sendiri, kita bawa tukang dari Jawa aja!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline