Ketika saya membaca tulisan Mas Wiwien Wintarto beberapa hari lalu, yang berjudul "Karena Tulisan Bagus Saja Tak Cukup" (link) saya mengaminkan apa yang beliau tuliskan: bahwa menjadi seorang penulis fiksi bukan hanya membutuhkan kemampuan menulis yang baik namun lebih dari itu.
Menurut Mas Wiwien, penulis fiksi harus memiliki kesabaran yang super tinggi sebab menulis fiksi (terutama novel) memang membutuhkan waktu lama. Hal ini berbeda dengan karya jurnalistik yang diburu waktu tayang maupun buku nonfiksi yang sesuai dengan jendela tren. Selain itu buku pertama mungkin tidak akan se-"wah" ekspektasi kita.
Tentang novel perdana ini saya pernah membaca entah di mana bahwa kebanyakan novel yang pertama ditulis oleh seorang penulis lebih menggambarkan diri penulis itu sendiri. Baru pada novel-novel selanjutnya penulis biasanya lebih "memikirkan" pembaca alih-alih dirinya sendiri. Mungkin pengecualiannya hanya NH Dini, penulis wanita yang belum lama ini berpulang. Beliau mampu menulis banyak novel berdasarkan pengalaman hidupnya dan tetap enak dibaca.
Masih ada beberapa poin lagi yang disebutkan oleh Mas Wiwien tentang modal awal menjadi penulis fiksi. Apa saja poinnya dapat langsung dibaca pada tulisan aslinya. Kalau saya tulis ulang di sini bisa-bisa saya dianggap plagiat. Padahal kan tujuan awal saya menulis ini adalah berbagi pengalaman saat saya berhasil menulis novella.
Lho? Kok novella? Bukankah tadi yang dibahas adalah novel?
Ya, novella karena berdasarkan jumlah katanya yang hanya 18.000 kata. Berbeda jauh dengan novel yang panjangnya minimal 40.000 kata. (Meskipun ketika mulai menulis saya berniat menulis sebuah novel).
Mengapa saya bisa menulis novella tersebut?
Karena ada dorongan dari dalam hati. Jadi ceritanya waktu mendengar lagu Someone Like You-nya Adele diputar berulang-ulang antara tahun 2011 sampai 2012 saya merasa "bisa menjiwai" lagu tersebut. Lalu muncul ide "bagaimana kalau kita buat cerita dengan ide dari lagu ini?" Kebetulan saat itu saya baru selesai membaca buku Menulis Fiksi itu Seksi. Jadi ya ... kemungkinan masih termotivasi oleh isi buku karangan Mbak Alberthiene Endah ini.
Berapa lama saya menyelesaikan tulisan tersebut? Saya menyelesaikannya dalam waktu yang cukup lama. Total sekitar 4 tahun. Dimulai tahun 2012 dan selesai pada tahun 2016 (meskipun berdasarkan catatan waktu di MS Word total editing time-nya hanya 24 jam). Itu pun karena saya sudah mentok tidak bisa mencari konflik lain untuk dimunculkan tanpa membuat cerita jadi berputar-putar. Persis seperti Tere Liye saat menulis Hapalan Shalat Delisa. Bedanya, tulisan Tere Liye jadi best seller dan difilmkan. Kalau tulisan saya, ya gitu deh ...
Berdasarkan pengalaman menulis cerita selama 4 tahun itu ada beberapa hal yang saya pelajari:
Pertama, betul bahwa profesi penulis novel memerlukan kesabaran yang super tinggi. Untuk menentukan plot (dan mungkin plot twist untuk penulis yang lebih canggih), karakter, dan sebagainya yang merupakan dasar cerita saja sudah memakan banyak waktu (untuk saya). Belum lagi kalau diperlukan riset untuk menguatkan cerita.
Kedua, komitmen untuk menyelesaikan cerita sangat diperlukan. Mudah sekali rasanya untuk menyerah atau beralih menulis ide baru begitu kita mulai menulis cerita. Ini adalah salah satu yang menyebabkan penyelesaian novella saya memakan waktu 4 tahun. Akhirnya selesai setelah saya menargetkan sekian kata dalam sehari dan mengalokasikan waktu khusus untuk menulis.