Kemarin, tepatnya tanggal 29 Oktober 2018, Indonesia kembali berduka. Terjadi kecelakaan pesawat Lion JT610 jurusan Jakarta-Pangkal Pinang, tidak lama setelah lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta. Sontak linimasa media sosial saya dipenuhi ucapan dukacita dan doa semoga masih ada korban yang selamat.
Setiap kali mendengar berita tentang bencana alam maupun kecelakaan massal seperti ini hati saya selalu maksreset kalau kata orang Jawa. Sedih-sedih gimana gitu. Terbayang bagaimana seandainya saya sendiri atau keluarga saya yang jadi korban. Namun kali ini berbeda. Ternyata saya jauh lebih sedih dari biasanya.
Beberapa grup whatsapp saya aktif membahas tentang kecelakaan itu. Begitu pula dengan adik saya. Ada banyak pegawai Kemenkeu yang berada dalam pesawat yang menuju Batam itu, totalnya 20 orang.
Ada pula 10 orang pegawai BPK. Adik saya mengatakan ada satu orang yang dikenalnya selama kuliah di STAN. Grup whatsapp alumni kuliah saya pun ikut ramai. Ternyata satu orang teman angkatan kami ikut berada dalam manifest pesawat yang jatuh itu. Tepatnya penumpang nomor 55, Hantoro Ibnu. Nama lengkapnya Ibnu Fajariyadi Hantoro.
Seketika saya berharap masih ada korban selamat, dan semoga Ibnu satu diantaranya. Ia adalah suami dari teman satu kelompok coass saya. Saya pun kenal Ibnu dengan cukup baik. Ia pintar dan baik walaupun casing luarnya terlihat sombong.
Ia pergi ke Bangka untuk menuntaskan program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS)-nya di sana. Ada berita yang mengatakan bahwa sebelum naik pesawat, ia sempat berkata bahwa ia senang sekali karena akhirnya WKDS-nya hampir selesai. Siapa yang menyangka bahwa itu adalah saat terakhirnya?
Ketika Basarnas menyatakan bahwa kecil kemungkinan bahwa ada korban yang selamat melihat pesawat yang hancur berkeping-keping, ada sedikit penyangkalan dalam hati saya. Masak sih nggak ada yang selamat? Tapi memang kecil kemungkinan untuk selamat setelah jatuh dari ketinggian 3000 kaki (lebih dari 900 meter) di laut yang kedalamannya sekitar 40 meter saja.
Teman saya dan seluruh isi pesawat telah berpulang menghadap-Nya. Saya tidak menyangka ia akan pergi secepat itu. Masa depannya terlihat cerah dan tertata dengan apik, namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Selamat jalan, teman. Juga untuk seluruh korban jatuhnya pesawat JT610. Rahayu.
Kalau sudah begini baru terasa kalau hidup ini begitu rapuhnya. Sewaktu-waktu dapat diambil oleh Yang Empunya Hidup. Maka mungkin sebaiknya saya mulai mengurangi kebiasaan mengeluh dan mulai mengisi hidup dengan hal-hal yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H