Lihat ke Halaman Asli

“Semua Obat Adalah Racun”

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kalimat tersebut diucapkan salah seorang prof pengajar farmakologi klinik dasar saya bertahun-tahun yang lalu, dengan tambahan  “..yang membedakan adalah dosisnya.”

Jadi kalau boleh saya tuliskan dengan lengkap, kalimat pembuka pelajaran farmakologi klinik dasar kami adalah “Semua obat adalah racun, yang membedakan adalah dosisnya.” Kalimat ini dipakai bertahun-tahun, bahkan sampai sekarang setelah beliau meninggal dunia (God bless his soul) untuk menunjukkan pada kami, bahwa obat bukanlah hal yang sederhana dan sama sekali tidak boleh bermain-main atau lengah saat berurusan dengan hal yang satu ini. Yang membedakan obat dengan racun hanya satu, yaitu dosisnya. Ada dosis yang dapat digunakan untuk mengobati dan ada dosis yang dapat menyebabkan obat tersebut bersifat racun.

Farmakologi adalah ilmu mengenai obat. Dalam kuliah pembuka tersebut kami diberitahu bahwa ada karakteristik unik dari obat seperti obat mempengaruhi kerja badan kita dan badan kita pun mempengaruhi kerja dari obat. Selain itu untuk dosis pun ada beberapa macam kadar. Ada kadar obat minimal, artinya di bawah kadar tersebut obat tidak akan memberi pengaruh apapun pada tubuh baik dalam konteks positif maupun negatif. Pada dosis yang menimbulkan konsentrasi di bawah kadar obat minimal, obat hanya sekedar “numpang lewat” saja, baru setelah konsentrasi obat berada pada atau di atas kadar obat minimal, obat dapat mulai bekerja.

Ada lagi kadar toksik atau kadar beracun. Jika dosis obat yang diberikan sama atau melebihi dosis toksik ini maka obat akan berubah menjadi racun. Itulah yang menyebabkan mengapa dikatakan “Semua obat adalah racun, yang membedakan adalah dosisnya.”

Konsentrasi dimana obat dapat bekerja dengan baik tanpa meracuni kita adalah diantara kadar minimal obat dan kadar toksik obat. Inilah yang disebut sebagai “jendela terapi”. Entah mengapa disebut “jendela” mungkin istilah ini digunakan untuk menunjukan celah antara kedua kadar tersebut. Konsentrasi inilah yang diupayakan dengan pemberian obat pada dosis tertentu dan jam-jam tertentu. Jika ada obat yang diminum 3x1 berarti kita harus meminumnya setiap 8 jam, bukan pagi-siang-sore. Jika ada obat yang diminum 1x1 berarti kita meminumnya setiap 24 jam, atau pada jam yang sama setiap harinya. Jika kemarin minum pukul 6 pagi maka hari ini minum pukul 6 pagi pula, bukan “Ah nanti saja kalau saya sempat.”

Satu hal lagi yang dapat kita sarikan dari kalimat “Semua obat adalah racun, yang membedakan adalah dosisnya.” Adalah: semua obat memiliki efek samping. Racun itu kan berbahaya, demikian pula dengan obat. Efek obat setidaknya ada 2 macam: efek yang diinginkan atau efek terapi, dan efek yang tidak diinginkan. Salah satu efek yang tidak diinginkan itu adalah efek samping obat. Biasanya efek samping obat ini sudah tertera dalam brosur obat yang bersangkutan.

Nah, jika ada orang yang mengklaim produknya sebagai “obat tanpa efek samping”, waspadalah! Sudah pasti Anda sedang dibohongi. Sebab “Semua obat adalah racun.. dan semua obat memiliki efek samping.” Jika ada klaim obat tanpa efek samping, sudah pasti yang ditawarkan itu bukan obat. Semua obat adalah racun, semua obat memiliki efek samping. Jika tidak punya efek samping, maka itu bukan obat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline