"Menikah? .... ah nggaklah, masih jauh"
Jawab Alif, teman anak saya, sambil tersenyum, ketika ditanya kapan akan menikah. Seolah pernikahan bukan untuk pemuda berusia 24 tahun. Padahal dia sudah menyelesaikan pendidikan jenjang sarjana S1, dan bekerja di salah satu kementerian di Kota Jakarta. Calon istrinyapun sudah menyelesaikan kuliah di fakultas kedokteran.
Jawaban yang sama juga dilontarkan anak saya. Mereka merupakan figur milenial yang mulai menggeser usia pernikahan. Seperti yang diungkap hasil riset IDN, generasi milenial baru merasa siap menikah di usia 30 tahun, 35 tahun, bahkan ada yang enggan menikah. (sumber)
Mereka juga menolak anggapan bahwa pernikahan sebagai cara menghindar zinah. Seolah manusia tidak mampu mengendalikan kebutuhan seksual. Padahal yang benar seharusnya pernikahan merupakan "a part of ibadah" atau bagian dari ibadah. Pernikahan merupakan suatu proses hijrah atau berbuat lebih baik dari sebelumnya.
Menikah sebagai "bagian dari badah"
Merasa belum mampu secara finansial kerap menjadi alasan untuk menunda pernikahan. Seperti yang dialami seorang teman, seorang lulusan ITB yang telah melamar gadis pujaan, alumni fakultas psikologi Unpad.
Tak lama sesudah acara lamaran, mesin bisnisnya luluh lantak. Cash flow berantakan. Ancaman gulung tikar menghantui. Penyebabnya kasus nasional yang kala itu membuat sebagian besar turis mancanegara hengkang dari Indonesia.
Dalam suasana merasa terpuruk, sumber nafkah yang diharapkan bisa mencukupi keluarganya kelak, terancam bangkrut, sang teman mendatangi Haji Ali, seorang kyai pemilik pesantren di daerah Pasir Putih, Parung. Harapannya sang kyai bisa memberi pencerahan pada kasus yang membelitnya.
Usai mendengar curhat sang teman, Pak Haji Ali memanggil 2 orang santrinya, dan bertanya pada salah seorang dari mereka:"Apa kabar anak istri lu?"
" Baik Pak Haji. Sehat semuanya, alhamdulillah", jawab sang santri sambil tertawa khas Betawi.
"Anak lu ada yang mati, kagak?", tanya Pak Ali lagi.