Pluk. Sebuah buntelan kantung plastik berwarna hitam, jatuh. Tidak jauh dari tempat saya berdiri. Sobek. Isinya berhamburan. Sisa-sisa aktivitas manusia. Kulit pepaya, ceceran nasi, dan segumpal benda berwarna hitam.
Sekumpulan lalat datang mengerumuni. Baunya menyengat. Dan hei, binatang apakah itu? Berukuran kecil mungil, bergerak dengan lincahnya. Belatungkah?
Namun, petugas pengangkut sampah nampaknya tak peduli. Terlalu banyak gundukan sampah yang harus diangkut ke kontainer. Mesti bergerak cepat. Agar truk bisa segera berangkat ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA) yang berjarak sekitar 44, 1 km dari Pasar Ciroyom. Tempat saya menyaksikan sisa-sisa aktivitas pasar kaget.
Pemandangan ini sungguh bertolak belakang dengan tekad Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam siaran persnya, KemenLHK mewacanakan "Indonesia Bergerak Bebas Sampah 2020", agar tidak lagi menjadi pembuang sampah kedua di lautan. Sesuai penelitian Jenna Jambeck yang telah dipublikasikan pada Jurnal Science pada 12 Februari 2015.
Padahal sekarang sudah menjelang akhir tahun 2018. Terlalu ambisiuskah KemenLHK?
"Masalahnya bukan rentang waktu," jawab Direktur YPBB Bandung, David Sutasurya, "melainkan tidak adanya perubahan cara pengelolaan sampah. Selama masih menerapkan kumpul, angkut, buang', target puluhan tahunpun akan percuma".
Di sore berangin, usai hujan, saya mengobrol dengan David di kantornya yang asri, Jalan Rereng Barong nomor 30 Bandung. YPBB Bandung merupakan organisasi non pemerintah yang sejak tahun 1993 aktif berkampanye dalam mewujudkan zero waste lifestyle atau gaya hidup nol sampah.
David Sutasurya juga merupakan salah satu Dewan Direktur Bebassampah.Id yang sukses menyelenggarakan "International Zero Waste Cities Conference" pada 5- 7 Maret 2018 di Kota Bandung.
Jadi, harus bagaimana?
"Apa sih pengertian sampah?" tanya David.
"Hmm.... sisa-sisa aktivitas manusia," jawab saya. Ragu. Namun mulai memahami arah pembicaraan.