Sukabumi puluhan tahun silam. Kedatangan bulan Ramadan bisa ditandai dengan datangnya pemanen buah aren, bahan baku kolang kaling. Sedangkan penghujung Ramadan akan terasa ketika pemanen daun kelapa muda, mulai berdatangan. Kurang lebih ada 5 -- 10 pohon kelapa yang tumbuh di belakang rumah. Mereka akan memanen daun kelapa muda dan menjalinnya menjadi bentuk bungkus ketupat.
Baca juga : Kolang Kaling dan Toleransi Beragama Mewarnai Ramadan di Sukabumi
Aktivitas memotong daun kelapa agar simetris, menekuk, memintal hingga berbentuk cangkang ketupat berlangsung hingga hari terakhir Ramadan. Bungkus ketupat biasanya dikirim ke pasar, dan untuk konsumsi penduduk sekitar rumah.
Hari terakhir Ramadan juga berarti datangnya kiriman ketupat, opor, rendang, sambal goreng dan ase cabai hijau, dari tetangga disekitar rumah. Jenis masakan terakhir, ase cabai hijau datang dari tetangga etnis Sunda. Mereka inilah yang menulari saya dengan "virus" masakan Sunda yang cenderung soft rasa bumbunya dibanding etnis Jawa yang lebih berat oleh bumbu dan santan kental.
Dalam perjalanan beradaptasi dengan lingkungan, almarhum ibunda yang datang ke Kota Sukabumi sekitar tahun 1958 dari Kota Jogjakarta, terjadi rangkaian silaturahmi dalam bentuk saling kirim masakan hari raya. Tetangga yang beragama Islam akan mengirim masakan khas Lebaran, sebagai balasan Ibu akan mengirim masakan/kue menjelang Natal. Demikian terus hingga Ibu mulai sakit-sakitan dan pindah dari rumah di jalan Siliwangi, Sukabumi.
Tetangga dekat rumah menggunakan nampan dan piring-piring kecil sebagai wadah lauk-pauk. Sedangkan mereka yang letaknya jauh memasukkan ketupat dan lauk pauknya dalam rantang. Tak ada wadah sekali pakai kala itu. Jika sempat, kami akan membasuh dulu wadah bekas lauk pauk. Namun lebih sering tidak, para pembawa kiriman makanan, umumnya anak-anak tetangga, sering tidak sabar. Ingin segera pulang.
Namun, walau terbawa arus euforia Lebaran, tetaplah kami hanya penonton. Penonton yang ikut menyicipi masakan, mendengar bedug dan petasan, serta ikut nonton acara televisi. Berita mudik tidak seheboh sekarang. Ada yang saya ingat terkait penggalan berita mudik yaitu meledaknya gerbong kereta api akibat petasan. Salah seorang penumpang membawa bubuk petasan dalam jumlah banyak untuk perayaan Lebaran.
Dia tidak memperhitungkan gesekan dan udara panas bisa menyebabkan petasan/mercon meledak. Akibatnya banyak penumpang meninggal dunia. Seorang penumpang perempuan mengalami luka bakar di wajahnya, meninggalkan bekas yang mengerikan walau telah beberapa kali operasi.
Beda halnya ketika saya telah masuk Islam pada tahun 1988, terlebih berkeluarga setahun kemudian dan kemudian muncul anak-anak. Lebaran berarti ikut bergembira ria. Larut dalam euforia menyambut hari raya. Dan menjelang Lebaran berarti menyiapkan busana dan masakan untuk keluarga. Menyetrika dan menggantung baju baru agar siap pakai keesokan harinya.
Sementara kesibukan nyata nampak di dapur. Sebetulnya saya tidak memiliki panutan masakan Lebaran. Ibu kandung saya beragama Katolik, sedangkan ibu mertua sudah meninggal sebelum saya menikah. Konon almarhum ibu mertua tidak memiliki masakan khas Lebaran, hanya nasi dan lauk pauk khas Jawa. Tidak ada ketupat dalam Lebaran khas Jawa Tengah, ketupat baru muncul di Lebaran Ketupat beberapa waktu kemudian.
Sehingga saya yang memutuskan masakan khas keluarga saya, yaitu ketupat, opor ayam, sambal goreng, rendang dan lain-lain. Opor harus selalu ada, karena masakan inilah yang selalu disebut anak saya ketika berpuasa: "Mah, nanti lebaran makan opor, ya?" Ah, tentu saja jawabannya iya, apa sih yang ngga untuk anak. Terlebih jika mereka menuntaskan ibadah 30 hari penuh, sejak Imsak hingga Magrib.