Pingin banget berkebun (urban farming), tapi ngga tau dari mana harus mulai.
Pingin bertanam hidroponik, tapi takut harga instalasi kemahalan.
Pingin jualan hasil panen sayuran, sayangnya sulit nembus supermarket nih. Lokasinyapun jauh, habis dong keuntungan untuk bayar ongkos transport.
Orang kota ingin bertani? Hmmm...pastinya langsung teringat foto-foto urban gardening di Instagram. Terlebih jika yang ingin ditanam adalah sayuran. Calon pelaku urban farming akan membayangkan bisa mengonsumsi sayuran segar setiap saat. Perlu sayuran untuk mi instan tinggal metik, mau memasak tumis pakchoy tidak perlu ke pasar.
Kenyataannya? Kangkung tumbuh kurus-kurus. Tomat tak kunjung berbuah. Tanaman cabe terkena hama. Duh!
Ketika panen tiba, masalah lain timbul. Sayuran berlimpah padahal saudara dan kerabat sudah mendapat kiriman. Mau dijual ke pasar tradisional atau ritel modern ternyata tidak mudah, harus melewati sensor dan butuh biaya ekstra untuk transportasi.
Berbagai masalah dan pertanyaan anggota masyarakat tersebut rupanya direspons dengan baik oleh pemerintah kota Bandung. Setidaknya oleh Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil pencetus Indonesia Berkebun yang tentunya sangat paham permasalahan yang dihadapi pelaku urban farming. Tak heran, Kang Emil, panggilan Ridwan Kamil, menggelar Bandung Agri Market yang diselenggarakan pertama kali pada 25 Mei 2014 agar para pegiat urban farming saling bertemu termasuk dengan para konsumen, calon pegiat dan instansi yang berwenang yaitu Dinas Pertanian.
Minggu, 6 Agustus 2017 saya berkesempatan mengunjungi Bandung Agri Market (BAM) yang diselenggarakan di jalan Sukarno, depan alun-alun Kota Bandung. Apa saja yang bisa ditemui para pengunjung? Berikut laporan sekilas pandang:
Pameran Sayuran, Buah dan Bunga
Pertanyaan mengenai tanaman apa saja yang bisa ditanam di area urban farming akan terjawab di sini. Mulai dari tanaman lokal yang dikonsumsi sehari-hari, tanaman obat, hibrida yang baru dikembangkan hingga tanaman impor.