Lihat ke Halaman Asli

Maria G Soemitro

TERVERIFIKASI

Volunteer Zero Waste Cities

Lambungkan Asa, Tebarkan Semangat di Pasar Rakyat

Diperbarui: 27 Januari 2017   19:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasar Cihaurgeulis Bandung (dok.pri)

Pukul 07.30 di Pasar Andir Kota Bandung. Seorang perempuan, berkerudung hijau penuh manik-manik  nampak asyik  mematut pakaian dalam sambil bertanya dan menawar dengan logat Sumatera. Pemilik barang, seorang perempuan  bertubuh subur, menjawab setiap pertanyaan seraya mengeluarkan puluhan pakaian dalam lainnya. Ada banyak corak, warna dan ukuran. Mereka tak peduli bau amis menguar dari kios ikan. Penjualnya hampir tak nampak,  tenggelam dalam tumpukan  ikan mas yang sedang dibersihkan dari sisik dan jeroannya.

Tidak hanya bau amis, pengunjung pasar akan disuguhi bau got mampet yang tertimpa anyirnya aroma  daging sapi. Tak heran, setidaknya ada 3 kios penjual daging. Kios pertama diapit kios sayur mayur dan penjual kue basah yang menjual donat, aneka kudapan berbahan singkong, risoles serta beras ketan yang dimasak dalam beragam bentuk dan rasa.

Kios daging  kedua bersebelahan dengan penjual ikan pindang. Pemilik kios daging, laki-laki paruh baya berkutat dengan pisau tajamnya memotong-motong tulang iga untuk memenuhi permintaan pembeli, seorang perempuan berambut mirip spiral berkulit gelap khas penduduk Indonesia Timur.   Sedangkan tukang pindang asyik bersenandung seraya mengiris-iris pindang tongkol hingga nampak daging putih yang mengundang selera. Tak jauh dari situ, di sebuah toko sembako,  seorang perempuan  beretnis Tionghoa dengan uban yang menghiasi kulit putihnya tengah menghitung uang  dari pembeli.

Setiap waktu selalu ada kisah dan adegan yang berbeda di pasar rakyat, tapi ucapan pemilik kios tempat saya berbelanja selalu sama:

 “Sing laris diicalna ……………(semoga laris penjualannya)”

Doa itu diucapkannya pada semua pembeli, tak peduli jenis kelamin , usia dan etnis, asalkan berbelanja untuk keperluan usaha, Nur dan ibunya selalu menutup transaksi dengan kalimat yang sama. Terkadang ada tambahan:

 “Sing laris diicalna, mugi aya langkungna”……( Semoga laris penjualannya, semoga ada lebihnya)

Setiap orang senang mendapat doa. Namun mendengarnya di tempat yang penuh hiruk pikuk sungguh terasa “nyes” di hati. Ketika saya menanyakan alasan mereka mendoakan pembeli, jawabannya sungguh diluar dugaan.

“Kan memang kebiasaan urang Sunda, seperti mempersilakan makan dengan: sing raos dituangna (semoga enak makannya)”

Oh ternyata tidak berhubungan dengan keagamaan secara khusus, tapi lebih pada faktor budaya yang mengeksplorasi semua kegiatan dengan ucapan-ucapan positif agar hubungan silaturahmi selalu terjaga.

Pasar sebagai  pusat kegiatan perekonomian tertua bukan hanya titik  temu transaksi jual beli barang dan jasa tapi juga tempat  terjadi akulturasi budaya, penyebaran agama, kuliner serta ilmu pengetahuan. Sayangnya telah terjadi penafsiran. Pasar hanya dianggap sebagai tempat  pion-pion bernama pembeli dan penjual melakukan transaksi jual beli produk.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline