Lihat ke Halaman Asli

Maria G Soemitro

TERVERIFIKASI

Volunteer Zero Waste Cities

Peran Gen Z Dalam Gerakan Budaya Bersih dan Senyum

Diperbarui: 11 Oktober 2016   12:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Spanduk bertuliskan “Urang Bandung mah someah” lengkap dengan beragam wajah tersenyum menghiasi kota kembang Bandung  di ulang tahunnya yang ke 204,  tahun 2014 silam. Ada pelajar, ibu rumah tangga,pelatih sepak bola, satpam, pekerja kebersihan. Semua tersenyum ceria. Seolah ingin mewartakan bahwa senyum akan menyapa siapapun yang datang ke kota Bandung.

Sebetulnya someah atau ramah dan murah tersenyum bukan hanya milik penduduk Bandung tapi ciri khas penduduk Indonesia. Penduduk negara bermandikan matahari yang senantiasa tersenyum dalam berbagai kondisi. Bahkan presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, populer dengan sebutan “ the smiling general”. Karenanya sejalan dengan Gerakan Nasional Revolusi Mental, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenko Maritim) mencanangkan Gerakan Budaya Bersih dan Senyum (GBBS) dimulai 19 September 2015. Tujuannya untuk membangun sikap mental masyarakat Indonesia agar peduli dengan kebersihan lingkungan, berkepribadian ramah dan murah senyum, sekaligus pembuka jalan bagi kekuatan Indonesia untuk menjadi poros maritim  Dunia.

Jika senyum adalah ciri khas penduduk Indonesia, bagaimana dengan budaya bersih? Sejatinya  bersih melekat pada kehidupan di Indonesia. Lihatlah pedesaan, hunian penduduk asli perkotaan dan masyarakat adat. Sejauh mata memandang terlihat asri, sejuk dan bersih. Nampak guratan sapu lidi di jalan-jalan kecil depan rumah, pertanda pemilik rumah selalu menjaga kebersihan area sekitar rumahnya. Setiap penduduk malu jika huniannya kotor.

Jadi mengapa banyak pesisir yang dihuni sampah? Mengapa sampah teronggok di sudut-sudut perkotaan? Semuanya berawal ketika pemerintah mengambil alih tugas warga dalam mengelola sampah. Sentralisasi mengubah kebiasaan warga mengelola sampahnya sendiri dan menggantinya dengan pelayanan angkut dan buang sampah. Setiap  lingkungan warga mengorganisir pengumpulan sampah dan menimbunnya dalam tempat pembuangan sampah sementara (TPS). Kemudian dinas kebersihan setempat mengangkut timbunan sampah di TPS ke lokasi yang jauh dari pemukiman warga.

Dari sinilah masalah berawal.  Sampah yang dihasilkan era milenial bukan hanya sampah organik tapi juga plastik dan B3. Proses meniadakan pemisahan sampah dan adagium ‘buanglah sampah pada tempatnya’ membuat warga berpikir bahwa tugas mereka hanya membuang sampah setelah itu menjadi tanggung jawab petugas pengangkut sampah. Mereka  tidak mengetahui bahwa setiap hari sampah dikirim ke lokasi yang memiliki kapasitas terbatas. Hingga akhirnya bumi,  tempat terakhir sampah ditimbun, mengalami beban yang sangat berat, melebihi kapasitasnya dan melanggar hukum pembangunan keberlanjutan III yang dicetuskan Herman Daly:

Tidak melepas limbah (sampah) ke alam lebih cepat dari kemampuan memurnikan diri yang dimiliki alam

Setiap hari truk-truk pengangkut sampah membuang sampah ke TPA, padahal plastik baru akan terurai di alam setelah ratusan tahun. Styrofoam memiliki waktu tak terhingga. Sampah B3 harus dikelola di tempat terpisah, tidak boleh disatukan dengan sampah lainnya.

Jumlah sampah yang dikirim ke TPA hanya  69 persen dari total sampah yang dihasilkan penduduk Indonesia, sisanya dikubur (10 %), dibakar (5 %), tidak dikelola (7 %). Sampah tidak dikelola inilah yang terlihat mengotori tanah-tanah kosong, aliran sungai termasuk pesisir pantai. Sedangkan pengomposan dan daur ulang baru mencapai 7 %. (data KLH 2015)

Melihat permasalahan sampah yang disebabkan kurangnya sosialisasi penanganan sampah,  sekelompok warga yang termasuk Gen Z mendeklarasikan perubahan tingkah laku. Gen Z adalah singkatan dari generasi Z, generasi yang lahir setelah pertengahan tahun 1990, merupakan generasi yang sejak kecil sudah sepenuhnya menggunakan internet. Sebagian besar waktu mereka dihabiskan secara online ketimbang berinteraksi dengan sesama teman secara fisik.

Internet ibarat dua sisi mata pisau. Ada yang baik dan juga buruk. Ketika banyak orang tua merasa risau terhadap efek buruk internet, Greeneration Indonesia justru menggunakan internet sebagai sarana mudah dan murah untuk menunjukkan betapa trendynya jika seseorang mau mengubah tingkah laku. Mereka mengenalkan Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) agar terjadi pengurangan sampah di hulu. Mereka memahami bahwa pemerintah memerlukan anggaran yang sangat besar untuk mengedukasi pengelolaan sampah sejak dini. Sehingga yang mereka lakukan adalah pendekatan massif pada sesama Gen Z lainnya agar mempengaruhi orang tua, kerabat untuk ber-diet kantong plastk.  Semua perangkat media sosial seperti facebook dan twitter digunakan dengan maksimal. Instagram dipenuhi ajakan mengurangi kantong plastik dan menggantinya dengan tas pakai ulang.  Dan tentu saja optimasi pengumpulan tanda tangan melalui change.org yang ditujukan kepada kementerian lingkungan hidup agar membuat regulasi pengurangan kantong plastik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline