Lihat ke Halaman Asli

Maria G Soemitro

TERVERIFIKASI

Volunteer Zero Waste Cities

Katakan "Wow" pada Mereka

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1350196113444915163

[caption id="attachment_217873" align="aligncenter" width="494" caption="Para punggawa BILIC  2012(Aden, Opik, Yuyuen, Siti, penulis, Poppy, Yani , Yati) (dok. Maria Hardayanto)"][/caption] Manis dan beruntung  itulah kesan penulis terhadap Yani ketika pertama kali bertemu di suatu rapat Bandung Independent Living Centre (BILIC)  sekitar tahun 2009 di Taman Ganesha, Bandung. Beruntung karena  Yani “hanya” terserang virus polio yang menyebabkan sebelah kakinya pincang dan harus diseret. Yani juga beruntung mempunyai dua anak yang lucu-lucu walaupun suaminya lumpuh kedua kakinya sehingga harus berjalan dengan bertelekan pada punggung kaki. Ketika berjalan tubuh Asep akan setinggi anaknya, Kiki yang berumur 7 tahun. Tetapi keberuntungan Yani yang terbesar adalah dukungan keluarganya untuk sekolah dan mandiri. Karena sikap banyak pihak di luar lingkungan keluarga sangat memarjinalkan kedudukan penyandang difabel (different ability).  Ada yang  iseng  meniru gerak kakinya yang pincang sambil membuntuti atau berpura-pura terjatuh didepan Yani. Faktor finansial  menyebabkan Yani  hanya lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kemudian dia memutuskan bekerja. “Kerja serabutan yang penting halal”, katanya. Dan tekanan makin menghebat, mulai dianggap peminta sumbangan ketika sedang membawa map. Sedang asyik duduk, ………eh  tiba tiba diberi uang karena dikira pengemis. Atau menanyakan arah jalan malah dikira mau mengemis dan diberi uang. Dan………………”Tidak diangkut ama sopir angkot”, katanya. Maksud Yani, sopir angkutan umum tidak mau berhenti ketika melihat yang akan naik adalah  penyandang difabel. Mungkin enggan menunggu karena langkah kaki mereka umumnya tidak lincah dan cepat sedangkan si sopir harus mengejar setoran. Semua penderita difabel, khususnya di Bandung mendapat pengalaman dan perlakuan sama. Tentu saja selalu ada pengecualian. Tidak semua orang memandang mereka seolah  mahluk dari luar angkasa, dan tidak semua sopir angkot kejam. Tetapi kondisi trotoar perkotaan yang tidak manusiawi bagi pejalan kaki terlebih untuk penyandang difabel memaksa mereka harus menggunakan jasa taksi atau “nebeng” pada tetangga  ketika harus ke suatu tempat. Sungguh riskan berjalan terpincang-pincang  (apalagi menggunakan kursi roda) di trotoar yang tidak rata, turun naik dengan sisa galian bercampur pot besar hasil euforia penghijauan  dan tempat mangkal pedagang kaki lima. Kalaupun landai, siap-siaplah untuk beradu jalan dengan sepeda motor. Merekapun berserikat dalam suatu wadah bernama BILIC (Bandung Independent Living Centre) yang diketuai Yati Suryadinata. Yati lumpuh kedua kakinya. Selain Yati, ada penyandang difabel lain sebagai pengurus  yaitu Yu Yuen (lumpuh kaki), Aden Al Hadad (tuna daksa kedua kakinya). si cantik Siti yang bertubuh dwarf , Poppy (tuna daksa), Erna yang mengalami lumpuh kedua kaki,  Enung yang mengalami multi difabel  dan masih banyak lainnya. Mereka berkumpul karena menyadari bahwa tidak ada gunanya mengeluh dan menangisi keadaan. Mereka harus kompak untuk memperjuangkan perbaikan, penerapan regulasi yang telah dibuat pemerintah, peningkatan kesejahteraan hidup dan dukungan bagi sesama penyandang difabel. Selama beberapa waktu mereka bekerja sama dengan penulis untuk mengikuti pelatihan agar mahir membuat kerajinan. Tetapi permasalahan kembali menghadang ketika mereka akan berwiraswasta. Karena berwirausaha artinya harus siap mondar mandir membeli bahan baku, bahan pembantu dan memasarkannya. Biayanya menjadi melonjak tajam karena mereka tidak bisa menggunakan angkutan umum biasa. Akhirnya mulai tahun 2010 hingga sekarang, mereka mengambil porsi sebagai pelatih kerajinan.  Salah satu bagian dari circle solusi penyelesaian sampah khususnya  bekas kemasan berlapis alumunium karena barang tersebut tidak bisa didaur ulang. Sudah ribuan orang yang mereka latih. Mulai dari anak-anak sekolah hingga ibu-ibu komunitas dan tahanan serta narapidana lembaga pemasyarakatan (LAPAS) perempuan. Melalui para anggota seniornya, BILIC  memberi support pada penyandang difabel yang tidak pernah keluar rumah dengan berbagai alasan. Ada yang disembunyikan karena orangtuanya malu mempunyai anak penyandang difabel, adapula yang terlantar hingga buang air kecil (b.a.k) dan buang air besar ( b.a.b) ditempat tidur menyebabkan punggungnya mengalami borok yang sulit sembuh karena selalu basah. Beberapa dari mereka mempunyai kemampuan motorik yang bagus sehingga bisa berlatih membuat kerajinan untuk dijual  hasilnya dengan perantaraan saudara/ tetangga atau dititipkan pada pembimbingnya. Hasil kerajinan mereka lebih unggul. Rapi dan motifnya kaya corak. Mungkin keterbatasan membuat mereka mempunyai cukup waktu untuk fokus dan berkreasi. Salah satu dari mereka adalah Meri, penyandang paraplegia yaitu hilangnya kemampuan untuk bergerak di bagian perut dan daerah punggung bawah. Apabila melihat sekilas, tidak ada seorangpun yang akan menyangka bahwa Meri mengalami kesulitan berbicara dan berjalan. [caption id="attachment_217877" align="aligncenter" width="352" caption="Meri di depan stasiun TVRI Jabar (dok. Maria Hardayanto)"]

13501977541104127131

[/caption] Hingga diusianya yang ke 22, Meri harus dipapah dalam melakukan mobilitasnya. Beruntung  ibunya sabar. Dia tidak malu mengajak Meri memutari kota Bandung dengan sepeda motor agar Meri bisa refreshing  dan tidak merasa bosan di rumah. Karena sehari-hari Meri hanya bisa berbaring sambil menunggu warung. [caption id="attachment_218490" align="aligncenter" width="371" caption="Meri dipapah dan dibantu duduk (dok. Maria Hardayanto)"]

1350525306698060643

[/caption] Dari atas dipannya yang tinggi, Meri melayani pembeli di warung dan membantu ibunya mengerjakan kerajinan seperti ini. [caption id="attachment_217879" align="aligncenter" width="386" caption="hasil kerajianan Meri (dok. BILIC)"]

13501983201640201649

[/caption] Harga asesories ini murah tetapi nilainya tinggi karena dikerjakan oleh penyandang disabilitas yang harus mengalahkan banyak rintangan. Hidup mereka berpuluh kali lipat lebih sulit daripada anak-anak sekolah yang tawuran padahal  beruntung bisa bersekolah tetapi menyia-nyiakan kesempatan. Anak-anak tawuran yang pastinya tidak pernah termarjinalkan karena mempunyai  tubuh normal. "Tapi sayang  pikirannya difabel"  kata Angkie Yudistia, penyandang tuna rungu, CEO  Thisable Associated. Tidak semua penyandang difabel bisa seberuntung Angkie yang mampu menyelesaikan S2. Yati Suryadinata misalnya, harus memupus keinginan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Bahasa Asing karena letak kelas di lantai dua sehingga setiap masuk kuliah harus digendong keatas. Suatu keadaan yang tidak menyenangkan, khususnya bagi penyandang difabel yang merasa tidak nyaman harus bergantung pada orang lain. Tidak hanya ruang sekolah, di tempat umumpun mereka kesulitan ketika harus ke toilet. Bangunan toilet umumnya sempit, arsiteknya tidak pernah memperhitungkan bahwa suatu kali penyandang difabel memerlukan toilet. Melihat begitu banyak hambatan yang mereka hadapi :  orangtua, guru, lingkungan hingga ruang publik yang tidak bersahabat. Tetapi mereka tetap berusaha berdikari bahkan mampu memberikan ilmu pada orang lain. Bukankah seharusnya kita mengangkat topi dan mengucapkan : “Wow !” Ah itu terlalu biasa, harusnya kita mengalungkan piagam penghargaan atas keberanian mereka menaklukkan kesulitan hidup. Tidak cengeng. Tidak melarikan diri dan mengonsumsi narkoba. Tidak juga mengeluh : “prihatin, ……… prihatin, …… prihatin”. **Maria Hardayanto** Sumber data : Kompas.com [caption id="attachment_217880" align="aligncenter" width="504" caption="Meri bernyanyi bersama Donny di acara Beranda TVRI . ki-ka : Yati, Yani, Asep, Tita host acara, Meri , ibu Meri, Donny (dok. Maria Hardayanto)"]

1350198440618310597

[/caption] [caption id="attachment_217881" align="aligncenter" width="370" caption="Meri dibonceng ibunya (dok. Maria Hardayanto)"]

13501986341782344041

[/caption] [caption id="attachment_217882" align="aligncenter" width="470" caption="setiap minggu, rekan-rekan BILIC berlatih kerajinan baru (dok. Maria Hardayanto)"]

13501987831289283429

[/caption] [caption id="attachment_217883" align="aligncenter" width="264" caption="toilet khusus untuk penyandang difabel (dok. Maria Hardayanto)"]

1350199840566382453

[/caption] [caption id="attachment_217885" align="aligncenter" width="457" caption="sebelum anda mengeluh, katakan Wow untuk perjuangan mereka (dok. BILIC)"]

1350200114852606879

[/caption] [caption id="attachment_218684" align="aligncenter" width="403" caption="Gedung Satepun tak ramah pada mereka (dok. Aden Al Hadad)"]

1350582931633295697

[/caption]



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline