Lihat ke Halaman Asli

Maria G Soemitro

TERVERIFIKASI

Volunteer Zero Waste Cities

Kuncup Menulis Mengembang di Kompasiana BlogshopN5M

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13314540251970994283

[caption id="attachment_175823" align="aligncenter" width="614" caption="dok. Maria Hardayanto"][/caption]

Sabtu, 10 Maret 2011 pukul 11.00,  tergopoh-gopoh  penulis berlari menyeberangi pelataran Bank Indonesia (BI) tempat dilaksanakannya Kompasiana Blogshop N5M. Capai, penuh keringat dan setengah hati. Setengah hati karena untuk pertamakalinya terpaksa  meninggalkan komunitas dampingan yang sedang berpameran Envirovolution 2012. Setengah hati karena urung mendapat ilmu dari Seminar Diet Energy  yang diadakan U-Green ITB dengan narasumber wakil menteri ESDM, Widjajono Partowidagdo;  Urbanis, Marco Kusumawijaya dan perwakilan EECCHI (Energy Efficiency and Conservation Clearing House Indonesia). Wah.....wah.... benar-benar setengah hati. Adanya kang Pepih Nugraha dan A. Fuadi penulis novel Negeri 5 Menaralah yang membuat penulis "tega" meninggalkan CC Timur ITB dan berlari hingga lantai 2 tempat Kompasiana Blogshop N5M diadakan. Mengapa Kang Pepih? Karena pada 2 x pertemuan sebelumnya, belum pernah mendapat contekan ilmu menulis wartawan senior tersebut secara formal dan lengkap. Selama ini penulis harus cukup puas belajar dari lapak http://www.kompasiana.com/pepihnugraha . Mencari cara menulis yang menyenangkan sekaligus tidak membuat mual pembacanya karena merasa digurui. Sempat sih mendapat puzzle dalam pertemuan terdahulu, tapi pengalaman menulis 22 tahun kang Pepih pastinya tidak dapat ditularkan hanya 2 kali pertemuan dalam bentuk bincang-bincang santai. Dan perasaan setengah hati bertumpuk dengan perasaan kecewa karena pembicara pertama, Eko Hendrawan Sofyan hanya sekilas mengupas tentang proses pembuatan buku WSDK (Woman Self Defense of Kushin Ryu)-nya. Selebihnya adalah pertunjukkan bagaimana cara perempuan mempertahankan diri dari gangguan lelaki iseng di bus atau di ruang publik lainnya. Self defense dengan mengajak seorang rekan pria sebagai model dan mendemonstrasikannya. Dialog interaktifpun melenceng karena peserta larut ikut memperbincangkan isi buku. Bahkan ada yang bertanya tentang cara menghindari hipnotis. Bukan mengupas proses membuat buku dengan sisikmeliknya. Pemasarannya atau mungkin berapa eksemplar buku yang berhasil dijual. Apalah artinya sebuah buku apabila calon pembeli tidak mengetahui bahwa buku tersebut ada. Buku yang bagus dan bermanfaat harus diimbangi strategi pemasaran yang jitu. Perbincangan tentang strategi penulisan buku, pemasarannya dan bagaimana cara perempuan mengetahui ada buku tentang perlunya mempersenjatai diri terhadap pelecehan seksual dan tindakan kriminal dengan apapun yang dia miliki termasuk tubuhnya pasti lebih menarik dan tepat sasaran. Bahkan sesi pembagian hadiahtiket nonton gratis di 21 berisi tentang penerapan WSDK. Sebetulnya tetap berguna, tetapi buku unik ini harusnya bisa menginspirasi penulis lain untuk menulis hal-hal unik dan berguna lainnya. Tidak sekedar berkutat di WSDK. Untuk itu sih, beli aja bukunya ^_^ Pembicara kedua, A.Fuadi penulis buku: Negeri 5 Menara, barulah mengasyikkan. Isi kupasannya "nyambung" dengan tujuan peserta yang datang di event ini. Tentang  pilihan menulis kehidupan di dalam pondok/pesantren. Tentang proses menulis yang memerlukan keuletan dan kesabaran. Persis seperti yang diajarkan seorang guru mengaji Al Quran pada penulis: "Hafalkan  seayat demi seayat, lama-lama kamu bisa menghafal satu surat". Tulislah satu halaman perharinya maka setahun kamu akan mendapat 365 halaman. Fantastis! Pantaslah ditengah kesibukannya A.Fuadi mampu membuat buku setebal 432 halaman. Man jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Dan buku Negeri 5 Menara adalah pembuktiannya. Bukan sekedar siapa penulisnya tapi kesungguhan pembuatannya. Keinginan untuk berbagi. Keinginan untuk menuliskan buku yang bermanfaat. Satu peluru hanya bisa tertuju pada satu orang, tetapi satu tulisan bisa menghujam jutaan orang. Menginspirasi mereka untuk bangkit kembali ketika terpuruk. Memberikan dorongan agar selalu bersungguh-sungguh menggapai impian. A. Fuadi juga mengajak peserta merubah mindset bahwa penulis harus "mengemis" agar bukunya diperhatikan penerbit. Ada hubungan simbiosis mutualisme antara penerbit dan penulis buku. Penerbit tidak mungkin merangkap sebagai penulis. Tetapi juga tidak mungkin menerbitkan buku yang tidak menjanjikan keuntungan. Solusinya, jadilah penulis yang cerdas, kreatif dan menangkap peluang yang diperlukan penerbit. Ketika A. Fuadi mengungkapkan bahwa dirinya adalah wartawan. Siapapun pasti akan membatin: "Pantesan wartawan,......!" Padahal penulis berita jelas berbeda dengan penulis fiksi. Karena itulah A. Fuadi harus belajar lagi cara menulis novel dari buku yang dibeli istrinya. A. Fuadi selalu membaca, belajar dan menulis. Happy endingnya adalah buku best seller yang laris manis karena menginspirasi jutaan pembacanya. Pembicara ketiga adalah pembicara yang ditunggu-tunggu: Kang Pepih. Sayang, waktu yang diberikan hanya satu jam dengan materi yang begitu banyak dan mengasyikkan. Apa boleh buat, peserta harus cukup puas mendapat copy-an presentasinya. Sangat disayangkan memang. Mungkin seharusnya cukup 2 pembicara yaitu pembicara topik utama dalam hal ini A. Fuadi dan Eko Hendrawan. Atau bisa juga A. Fuadi dan kang Pepih. Karena banyak tidak selalu berarti baik dan bagus. Terlalu banyak pembicara membuat peserta tidak mendapat cukup waktu untuk menyerap ilmu. Membelokkan arah diskusi Eko Hendrawan yang melencengpun tidak cukup waktu, apalagi mendiskusikan dan mempraktekkan cara menulis kreatif seperti pemaparan kang Pepih.  Apakah Kompasiana Blogshop N5M seharusnya diselenggarakan 2 hari? Walahhhh........ Ternyata Kompasiana Blogshop N5M tidak hanya memberi keuntungan bagi Kompasianer lama. Event ini mempunyai daya magnet yang membuat Kompasiana kebanjiran Kompasianer baru. Mereka khusus mendaftar sebagai anggota Kompasiana dan tentunya verifikasi data. Halmana pernah menjadi perdebatan ramai antar Kompasianer. Diantara peserta baru, ada yang sudah mempunyai blog tapi belum pede (percaya diri) menulis di Kompasiana. Ada yang mempunyai blog, tetapi statusnya "terbengkelai". Ada yang selalu ingin menulis tapi belum juga terwujud. Juga ada peserta yang menjadi anggota perkumpulan menulis di facebook . Mereka tertarik datang setelah verifikasi di Kompasiana. Untuk kelompok terakhir ini penulis sempat menggoda: "Menulis di Kompasiana harus tahan banting lho. Seperti masuk kawah candradimuka, penuh komentar , kritik dan pertanyaan yang harus dijawab. Tapi membuat kita  sakti". Ketika melihat ketakutan diwajah mereka,  penulis cepat-cepat meralat: "Nggak..nggak ..... asyik kok menulis di Kompasiana. Ada  penulis senior hingga anak SMP. Ada mantan menteri hingga tukang becak. Wah seru!!! ... masuk deh lapak demi lapak dan berkomentar ....rasanya mirip masuk kampung Indonesia dalam bentuk mini. Ada banyak suku, agama, usia hingga tingkat pendidikan yang beragam. Asyik pokoknya". "Oya, saya mau coba posting ah, tentang buku ...maksudnya resensi buku, buku lama boleh kan?" "Ya boleh dong, kan nggak setiap orang membaca buku yang dimaksud. Dengan adanya resensi buku tersebut, kita bisa memilah buku yang ingin dibeli dan dibaca". "Oke, besok saya mau menulis di Kompasiana". "Sip". ^_^ Tetapi yang lebih mengherankan adalah celetukan Melly Amalia, rekan penulis yang menjadi anggota baru Kompasiana . Dia datang dengan anaknya. "Aku mau menulis lagi ah". "Hayuk dong Mel, pertama menulis, saya nggak bisa copy paste sehingga harus menulis ulang setiap statement, data atau apapun untuk mendukung tulisan. Tidak bisa menggunakan hyperlink, bahkan matiin computer juga nggak bisa. Tapi ya menulis aja, karena ingin menulis". "Iya, begitu banyak kejadian disekitar saya yang menarik dan bermanfaat. Daripada mengulang-ulangnya dalam bentuk lisan, lebih baik menuliskannya ya?" Melly, seperti banyak peserta lain yang tersadarkan akan kesaktian sebuah tulisan yang mampu menginspirasi jutaan pembacanya. Suatu tulisan yang hanya dibaca 10 orang ketika awal diposting, mungkin akan dibaca ratusan ribu hingga jutaan orang setelah waktu berlalu. Bahkan ketika penulisnya sudah menjadi jasad tak bernyawa. Karena tulisan adalah abadi. **Maria Hardayanto**

[caption id="attachment_175825" align="aligncenter" width="525" caption="Kompasianer lama dan baru berbaur termasuk teh Okti yang merem (maaf ya teh) dok. Maria Hardayanto"]

13314549741477310325

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline