[caption id="attachment_166855" align="aligncenter" width="640" caption="Titi DJ dan keluarga belajar mengompos di rumah pak Sobirin tahun 2008 (dok. Soirin)"][/caption] Sebetulnya peristiwa ini sudah lama berselang. Ketika itu Titi DJ dan keluarga datang kerumah Supardiyono Sobirin (67 tahun), pakar DPKLTS untuk belajar mengompos sampah organik. Para pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) memang giat membuat komposter dirumahnya masing-masing. Tetapi mengapa banyak yang memilih pak Sob (kami memanggilnya demikian) sebagai tempat bertanya? Mungkin karena pak Sob menjadikan rumahnya sebagai workshop dimana setiap orang dipersilakan berkunjung dan belajar. Pak Sob juga rajin meng-update blog Sampah Diolah Menjadi Berkah yang telah dikunjungi 643.469 pembaca. Suatu jumlah lumayan untuk ukuran blog yang mengusung topik "green". Apa saja isi "kuliah" pak Sob ketika itu? Kurang lebih sebagai berikut: Komposter terdiri dari 2 jenis, tergantung bakteri pengolah kompos. Yaitu komposter aerob dan komposter anaerob. Salah satu contoh komposter anaerob adalah Komposter Berputar yang dibuat oleh Mita. Ternyata banyak rekan Kompasianer yang tertarik membuat komposter. Sehingga penulis terinspirasi memposting tulisan ini, untuk memberikan lebih banyak alternatif lain. 1. Komposter Aerob Kami menamakannya komposter ramah lingkungan. Karena menggunakan bahan ramah lingkungan seperti batubata, kayu maupun bambu. Komposter bambu digunakan oleh Solihin GP, mantan Gubernur Jawabarat ke-8 yang hingga usianya yang ke 85 kini masih lantang menyuarakan kepedulian lingkungan dan mempraktekkan konsep ramah lingkungan dirumahnya yang asri. Sedangkan pak Sob menggunakan batu bata yang tidak dipasang rapat, ukuran panjang x lebar x tinggi = 1 meter x 1 meter x 1 meter. [caption id="attachment_166823" align="aligncenter" width="672" caption="komposter bata terawang (gambar kiri), komposter rancangan pak Sobirin"]
[/caption] Komposter aerob menggunakan bakteri aerob yang memerlukan O2 bebas untuk kegiatan respirasinya. Komposter aerob harus tertutup agar rumput-rumput liar yang nakal tidak keluar lagi dan beranakpinak. Tetapi tetap menyisakan ruang agar O2 bisa hilir mudik membantu bakteri aerob bekerja. Pak Sob menyarankan membuat cairan mikroorganisme lokal (mol) agar bakteri aerob bekerja maksimal dan kompos dapat segera dipanen . Cairan mol tersebut disiram ke dalam komposter yang sudah berisi sisa makanan dan atau dedaunan dari pekarangan.
Untuk rekan yang malas membuat mol, bisa menggunakan air sisa cucian beras yang telah diendapkan 2 hari. Selain itu juga bisa menggunakan air rendaman sisa kupasan buah dan atau air yang keluar dari tape ketan yang terlalu matang. Pengadukan calon kompos secara berkala juga dianjurkan agar bakteri aerob bisa berjalan-jalan dengan leluasa. Cara memeriksa apakah balatentara bakteri aerob mengerjakan tugasnya dengan benar adalah dengan menyentuh komposter. Calon kompos akan hangat bahkan mengeluarkan asap. Persis seperti sampah dalam kotak takakura yang sedang diolah bakteri aerob menjadi kompos. Setelah satu bulan, kompos bisa dipanen. Apabila menggunakan mol, waktu yang diperlukan lebih singkat. Hanya kurang lebih 3 minggu. Cara memanennya gampang, tinggal buka "pintu" dilantai bawah bangunan komposter. Karena tumpukan sampah terbawah sudah menjadi kompos sedangkan sampah baru ada diatasnya.
Komposter aerob ini juga bisa menjadi alternatif untuk rumah tangga yang kehabisan lahan tapi mempunyai lahan diluar rumah seluas kurang lebih 1m x 1m untuk berbagi dengan keluarga lainnya. Komposter komunal yang dimiliki 2 - 3 kepala keluarga atau bahkan lebih, dapat mempererat tali silaturahmi. Karena perlu didiskusikan bersama apakah komposter komunal perlu digembok agar tidak di aduk-aduk pemulung yang berharap menemukan harta karun eh rongsokan ^_^ Berapa biayanya? Sekitar Rp 100.000, karena tukang bangunann bisa menyelesaikannya dalam waktu beberapa jam saja. Semen pun beli eceran, kalau tidak salah 3 kg. Sedangkan untuk batu bata, kebetulan dirumah penulis banyak sisa bahan bangunan. Jadi si emang tinggal ambil. Tapi mudah diperkirakan kok, dihitung dari satu sisi 1 x 1 meter : sisi batu bata = silakan teruskan sendiri ..... ^_^ 2. Komposter anaerob. Penulis meniru pembuatan komposter anaerob milik pak Sobirin. Yaitu lubang yang digali kedalam tanah ukuran 60 cm x 60 cm sedalam 1 meter. Lubang dibiarkan tidak diplester semen hanya bagian pinggir atas dipasang selapis batu bata agar tanah tidak longsor. Selain itu juga untuk mengganjal tutup beton dan memperindah komposter agar nampak "cantik" dan rapi. Komposter anaerob menggunakan bakteri anaerob yang tidak memerlukan oksigen untuk tumbuh. Tetapi karena beberapa bakteri anaerob menghasilkan toksin yang berbahaya bagi manusia maka tidak dianjurkan membangunnya dilokasi dimana ketinggian air tanahnya dangkal atau berketinggian > 5 meter.
Komposter anaerob seperti diatas sangat membantu apabila kita mempunyai sampah dapur yang bau misalnya kulit udang. Beri selapis tanah, maka bau busuk akan hilang. Hal tersebut jugalah yang menyebabkan pak Sob rajin membuang bangkai dan kotoran hewan disini. Tetapi yang lebih menyenangkan adalah hasilnya selain lebih cepat, butiran kompos lebih halus dibanding kompos aerob. Pembuatan komposter anaerob juga dapat dilakukan secara komunal karena tidak membutuhkan banyak lahan, irit dan mudah. Serta tidak usah takut diambil pemulung seperti komposter berputar milik Mita. Mita tidak perlu takut komposternya hilang karena disimpan dilahan sendiri, mungkin yang perlu dipersiapkan adalah "mental" ketika nanti membuka komposter. Penulis , Nugroho Adhi serta ibu Djamaludin (istri mantan menteri kehutanan di era pak Harto) pengelola Kebun Karinda mempunyai pengalaman yang sama ketika menggunakan komposter terbuat dari plastik yaitu bau dan banyak belatungnya. Karena hasil dekomposisi komposter aerob adalah kompos, gas CO2 dan H2O sedangkan komposter anaerob hasilnya adalah sludge, CO2 dan gas methan. Solusinya? Mungkin membuat 2 jenis komposter seperti eksperimen penulis. Dimana kompos setengah matang dipindah ke komposter aerob. Atau kompos berputar hanya boleh diisi dedaunan dan rumput hasil menyiangi pekarangan. Waktu komposting akan lebih lama tetapi jauh lebih sukses dibanding komposting dibawah ini. [caption id="attachment_166826" align="aligncenter" width="463" caption="komposting yang gagal, kurang rapat, kurang tinggi dan tidak ditutup"]
[/caption] Kembali ke kisah Titi DJ yang berminat membuat komposter dirumahnya. Apakah akhirnya dia membuat komposter serupa? Hal tersebut lupa ditanyakan oleh rekan-rekan Greeneration Indonesia yang ikut berkontribusi pada Konser Titi DJ, "Swara Sang Dewi". Suatu konser yang dirancang agar para penontonnya terkena "virus ramah lingkungan". Berhasilkah misi konser tersebut? Entahlah. Karena semangat kepedulian lingkungan tidak semudah menularkan virus penyakit flu. Harus dilakukan terus menerus. Karena itu yuk, memulai aksi ramah lingkungan dan membuat tulisan tentang "green". Walaupun pembacanya sedikit. Sehingga harus memeras otak agar pembaca mau meng-klik tulisan tersebut ^_^ Catatan : Pencantuman usia pak Sobirin, pak Solihin GP dan ibu Djamaludin (yang ini sih kira-kira sendiri deh, kan mantan menteri jaman Orba), disengaja agar menginspirasi anak-anak muda. Masa kalah sama orang tua yang sering nyeri cangkeng (sakit pinggang-pen) ^_^ Yuk selamatkan bumi dengan mengompos sampah organik! **Maria Hardayanto**
dok . gambar dan data : Supardiyono Sobirin /DPKLTS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H