Lihat ke Halaman Asli

Maria G Soemitro

TERVERIFIKASI

Volunteer Zero Waste Cities

Belajar Tentang Penghijauan, Banjir dan Sampah Bersama Anak-anak

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13268179272083971286

[caption id="attachment_164414" align="aligncenter" width="640" caption="Anak-anak belajar proses banjir dan mengetahui kegunaan LRB  (kiribawah) serta sumur resapan (kanan bawah)"][/caption] "Daunnya dipetiki anak-anak untuk mainan, bu", keluh ibu-ibu komunitas Engkang-engkang. Suatu komunitas warga bantaran sungai Cidurian yang sedang bersemangat menata lingkungannya. Mereka belajar urban farming, bertanam sayuran dan tanaman hias dalam pot untuk kemudian disimpan berjejer di sepanjang jalan-jalan setapak RW 10, Kelurahan Cigadung Kecamatan Cibeunying Kaler Kota Bandung. Tetapi rupanya anak-anak kecil nan tak berdosa ini merasa asing dengan lingkungan baru tersebut. Mereka lebih akrab dengan pemandangan sehari-hari ketika jalan-jalan lengang berdebu dan kantung plastik berisi sampah bergelantungan di sepanjang jalan sementara ibu-ibunya asyik menyiangi sayuran untuk memasak sambil mengobrol dengan tetangga. Bangunan rumah yang tidak menyisakan ruang terbuka hijau dan jalan setapak yang sempitlah penyebab para penghuninya enggan bercocok tanam. Karena itu tingkah polah anak-anak lucu tersebut tidak dapat disalahkan. Tidak juga dengan tindakan ekstrim sebagian ibu yang mengawasi dengan ketat keberadaan tanaman-tanamannya atau lebih ekstrim lagi yaitu membawa masuk tanaman ke dalam rumah agar tidak ada tangan-tangan mungil yang serba ingin tahu. Jalan keluarnya adalah melibatkan mereka dalam setiap kegiatan orangtuanya. Sehingga diharapkan mereka memahami kegunaan tanaman. Dan tanaman dalam pot berbeda dengan sayuran yang biasa dipetiki ibunya sebelum memasak tumis kangkung. Ada 3 hal yang perlu dipahami anak-anak dengan benar, dan ketiganya diharapkan membantu mereka terhindar dalam perusakan lingkungan.

  • Belajar menanam biji buah. Sebelum  belajar menanam mereka harus diberi pengertian sederhana tentang kebutuhan utama manusia yaitu bernafas dan keterkaitan pohon penyuplai oksigen dengan cara memencet hidung masing-masing. Serta bagaimana pohon sebagai mahluk hidup akan menangis apabila daunnya tiba-tiba dipreteli. Sesudah itu mereka mendapat pembagian pot kecil atau bisa dianjurkan bekas gelas plastik, bekas plastik jajanan sebagai tempat menanam. Biji yang ditanam berasal dari buah-buahan yang mereka makan atau mereka temui di jalan. Mengapa biji buah? Karena umumnya orangtua membeli tanaman hias. Sehingga anak-anak kehilangan moment memperhatikan tanaman yang tumbuh sejak dari biji , muncul bakal akar, daun danseterusnya.  Setelah cukup umur, tanaman dipindah ke polybag atau ke pot yang lebih besar dan diberi nama sesuai nama si anak. Selanjutnya bersama orangtua mereka pergi ke bukit/gunung yang mulai gundul dan menanam pohon yang telah diberi nama tersebut. Secara periodik acara menanam pohon ke bukit/gunung ini dilaksanakan agar anak-anak bisa melihat perkembangan pohon-pohon yang sebelumnya mereka tanam dan menanam pohon yang baru. Demikian seterusnya, sehingga anak-anak bisa berkontribusi dalam penghijauan sekaligus edukasi dari hulu. Karena rasa memiliki alam harus dimiliki anak-anak semenjak usia dini. Bagi yang berdomisili di daerah Bandung, bisa menanami gunung Manglayang, gunung Geulis, Punclut, Karst Citatah Padalarang, wilayah masyarakat adat Cireundeu. Bisa juga menghubungi cabang Walhi setempat untuk mendapat informasi daerah kritis yang wajib ditanami.
  • Banjir. Pernah bertanya pada anak, mengapa terjadi banjir? Umumnya mereka menjawab karena sampah. Tidak salah sih, tapi anak yang kritis akan menjawab bahwa sampah yang dibuangnya sangat sedikit sedangkan air sungai dan air selokan sangatlah deras tatkala hujan lebat. Jadi bagaimana mungkin aliran air itu tidak bisa membawa sampah ke laut? Ya, harapan laut akan menyelesaikan sampah terjadi sejak di perkotaan. Karena itulah mereka "aktif" membuang sampah ke aliran sungai dan saluran air. Mengakibatkan sungai Citarum dinobatkan sebagai sungai terkotor di dunia. Penulis mencoba memvisualisasikan terjadinya banjir dengan menggunakan wadah kosong setinggi 15 cm, kantung plastik untuk menutup wadah tersebut dan membiarkan sisa kantung plastik melengkung membentuk cekungan dibawah. Pada bagian atas wadah diletakkan pot kecil sebagai pengandaian gunung yang masih belum gundul dan menyiramnya dengan air. Air akan tertampung di wadah karena air akan melewati lubang-lubang kecil di dasar pot dan menggenang di wadah atas. Hal tersebut membuktikan bahwa daerah pemukiman di bawah gunung tidak terkena banjir karena adanya pohon-pohon yang mengikat tanah dan membantu peresapan. Pot kemudian diambil, plastik diratakan diatas wadah kemudian disiram air lagi. Otomatis air akan melimpah kemana-mana termasuk kecekungan kantung plastik sebagai visualisasi banjir yang merendam rumah-rumah. Jalan keluarnya ditunjukkan dengan menusuk-nusuk cekungan plastik menggunakan obeng. Visualisasi terakhir ini menunjukkan kegunaan sumur resapan dan lubang resapan biopori (LRB) yang selama ini anak-anak lihat tapi tidak diketahui kegunaannya. Setelah pelajaran, anak-anak ditunjukkan cara membuat LRB atau menunjukkan sumur resapan apabila daerah tersebut memilikinya.
  • Sampah. Anak-anak selalu diajarkan membuang sampahnya sendiri. Tetapi bagaimana dengan sampah yang bertebaran yang mereka temui sehari-hari? Entah di depan rumah, madrasah tempat mereka belajar atau tempat umum lainnya. Ada baiknya mengajak mereka berpatisipasi secara periodik. Mengumpulkan sampah yang bertebaran dimana-mana dan membuangnya pada tempat yang seharusnya. Selain memberi edukasi pada anak-anak sejak usia dini juga diharapkan pembuang sampah akan merasa malu karena sampahnya dipunguti oleh anak-anak kecil.

Anak adalah tumpuan masa depan bangsa dan negara. Bagaimana anak-anak mendapat edukasi maka akan seperti itulah mereka kelak. Dan edukasi termudah adalah memberi contoh, mengajak dan melibatkan mereka dalam setiap kegiatan pelestarian lingkungan. Walaupun akhirnya yang mereka kerjakan adalah berlarian kesana kemari sambil sesekali merengek uang jajan. Ingatan anak-anak bagaikan kertas putih polos yang mudah ditulis dan digambar indah atau malah dicoret-coret. Karena itu pengenalan pengelolaan sampah sejak dini akan dikenangnya hingga usia dewasa. Dan keterlibatan mereka dalam menghijaukan kembali lahan kritis seperti puncak bukit dan lereng gunung diharapkan bisa menumbuhkan rasa memiliki. Serta kelak menjauhkan mereka dari godaan untuk menjual kawasan terlarang tersebut. Semoga. We do not inherit the earth from our ancestor, we borrow it from our children (Ancient Native American Proverb) **Maria Hardayanto** Ps. Rekan-rekan Kompasianer ada yang bisa membantu saya menggambar proses terjadinya banjir diatas? Gaptek berat nih  :(  please.........  :) Haturnuhun

[caption id="attachment_164411" align="aligncenter" width="576" caption="anak-anak belajar menanam sejak biji hingga tumbuh pohon cukup umur"]

13268176731900716173

[/caption]

1326817823199612262

13268178851340987814

[caption id="attachment_164410" align="aligncenter" width="361" caption="Anak-anak  ikut tertawa senang ketika banjir melanda   (dok. Dikri Jack)"]

13268174281270488621

[/caption] [caption id="attachment_164415" align="aligncenter" width="576" caption="Dengan senangnya anak-anak berlarian mengumpulkan sampah (dok. Maria Hardayanto)"]

13268180732076480151

[/caption]



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline