[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="akibat hujan dan tanah longsor di Korea Selatan"][/caption] Bencana Banjir dan Longsor di Seoul Korea Selatan harusnya tidak sekedar berita yang terjadi di luar negeri dan tidak mungkin menimpa kota-kota besar di Indonesia. Karena seperti halnya Korea Selatan, pembangunan di Indonesia lebih mengutamakan kepentingan kapitalis. Walau berdalih demi kesejahteraan masyarakat yaitu menambah lapangan kerja dan menambah kuantitas serta kualitas sekolah sebagai latar belakang pengajuan pengembangan area. Tapi seberapa jauh komparasi pengorbanan penggundulan suatu bukit dibandingkan serapan tenaga kerja dan peran instansi pendidikan yang dibangun, belum ada laporan dari lembaga manapun. Mungkin karena merasa putus asa menghadapi kebijaksanaan pemerintah yang "bandel". Korea Selatan menerima akibat kebijaksanaannya yang keliru. "Penyebab tanah longsor di bagian selatan Seoul dan di daerah Chuncheon yang menyebabkan 59 orang tewas dan ribuan orang kehilangan tempat tinggal adalah akibat ulah manusia ",kata JoongAng Ilbo dalam editorialnya. Sebelumnya para ahli telah memperingatkan kemungkinan tanah longsor ketika beberapa bukit dipugar menjadi perumahan, taman publik dan hiking tracks akan mengakibatkan hilangnya daerah penyerapan air hujan. Hal tersebut diperparah dengan perubahan saluran air alami menjadi danau buatan. Sehingga ketika hujan deras selama 3 hari disusul terjadinya delapan titik longsor yang menimpa penduduk di sekitar Gunung Umyeon di bagian selatan Seoul, prediksi para ahli menemukan kenyataan. Bagaimana dengan di Indonesia? Sami mawon bahkan mungkin lebih parah. Contoh kasus di Bandung. Hingga kini para ahli dan aktivis lingkungan masih memperjuangkan Babakan Siliwangi sebagai paru-paru kota dan daerah resapan air hujan yang tersisa. Berbatasan dengan Jalan Siliwangi dan Jalan Taman Sari, di lahan seluas 8 ha ini telah dibangun Sasana Budaya Ganesa (Sabuga) dan Sarana Olah Raga (Sorga), menyisakan kurang lebih 7 ha (71.000 m2) sebagai ruang terbuka hijau yang masih memiliki pepohonan sehingga nampak kurang terawat dan membuat investor tertarik untuk membangun investasi berupa gedung pertunjukan, galeri dan rumah makan untuk menarik minat pemodal lainnya dengan menafikan kenyataan bahwa Bandung sudah memiliki begitu banyak gedung dan rumah makan. Bahkan cafe dengan view indah tumbuh bagai jamur di musim hujan di kawasan Bandung Utara. [caption id="attachment_126172" align="aligncenter" width="461" caption="pepohonan di Babakan Siliwangi (dok.Maria Hardayanto)"][/caption] Kawasan Bandung Utara (KBU) memang menarik untuk dibangun walaupun sudah sering terjadi longsor disana. Bahkan Ciputra grup sebagai pelopor green building membangun perumahan di kawasan ini dengan nama Citra Green Dago - Ciputra. Sebelum pembangunan Citra Green Dago - Ciputra, para aktivis sudah kecolongan dengan dibangunnya Singapore International School di kawasan resapan air tersebut. Karena seharusnya tidak ada satu bangunanpun diizinkan berdiri merujuk ketentuan Undang-Undang sebagai berikut : [caption id="attachment_126176" align="aligncenter" width="576" caption="kronologis kebijakan kawasan Bandung Utara "][/caption] Pada tahun 1994, Gubernur Jawa Barat mengeluarkan peraturan untuk tidak memberikan izin bagi pembangunan dalam bentuk apapun di wilayah Bandung Utara kepada perusahaan maupun perseorangan. Tetapi ternyata Undang-Undang tersebut bisa diplintir oleh "tangan-tangan sakti" menjadi sebagai berikut : [caption id="attachment_126178" align="aligncenter" width="565" caption="perubahan isi peraturan daerah pasal 100 ayat 2 ( a)"][/caption] Logikanya suatu kebijakan direvisi menjadi lebih baik dan bukan sebaliknya menjadi buruk seperti pada PERDA nomor 2 tahun 2004 pasal 100 ayat 2 ( a) mencantumkan secara ekstrim tidak dikeluarkannya izin lokasi baru bisa berubah menjadi pengetatan perizinan, dan siapapun tahu apa yang dimaksud dengan pengetatan. Dan rakyat jelata yang menghuni kawasan tersebut hanya dapat bermimpi menyekolahkan anaknya disekolah internasional seperti yang dijanjikan pengembang. Karena mereka tidak mungkin membayar iuran sekolah yang berkisar Rp 2.500.000/bulan. [caption id="attachment_126179" align="aligncenter" width="576" caption="janji janji........ tinggal janji......"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Kawasan Bandung Utara kini"]
[/caption] Kawasan yang dirubah menjadi begitu rusak setelah isi perda berubah , terlihat pada bagian hijau yang berubah warna pada gambar berikutnya. [caption id="attachment_126180" align="aligncenter" width="576" caption="kawasan Bandung Utara sebelum dicengkram penguasa"][/caption] [caption id="attachment_126181" align="aligncenter" width="576" caption="Kawasan Bandung Utara kini"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="422" caption="Bandung view, menampilkan penggundulan Bandung Utara"]
[/caption] [caption id="attachment_126187" align="aligncenter" width="576" caption="upaya penghijauan - seolah sia-sia"][/caption] Jadi apakah Bandung akan mengalami nasib sial seperti Seoul? Oh semoga tidak ............., karena rumah penulis terletak di bawah kawasan tersebut. sumber gambar :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H