Kulihat Kartini termangu. Irama tubuhnya menunjukkan suasana hatinya. Dia tersedu perlahan. "Kartini, Mengapa kau menangis ?" Kartini mengerjapkan mata, meluruhkan bulir airmata diantara lentik bulu matanya. "Aku sedih melihat kenaifan yg dilakukan kaumku. Mengapa mereka harus memperingati hari Kartini dengan Lomba Kebaya ? Bahkan customer service Telkom, kasir bank berkebaya. Padahal mereka harus melayani pelanggan. Sungguh tidak praktis dan membuat pekerjaan tidak efisien. Aku tak mengerti, siapa yang memulai kebiasaan aneh ini? Apakah karena aku berkebaya maka hari jadiku diperingati dengan berkebaya? Apabila ingin melestarikan kebaya, tentukanlah hari Kebaya sendiri. Ini menyedihkan! Ini konyol!" "Apa yang kaumau ?" "Aku ingin kaumku berkarya. Tidak menghabiskan waktu dengan menonton sinetron dan infotainment. Manfaat apa yang mereka dapat dari tontonan seperti itu kecuali keinginan memiliki baju, sepatu, tas seperti selebriti yang sering ditontonnya? Bahkan gaya rambutpun dibuat mirip. Sungguh mengenaskan melihat mereka menjadi korban pasar hingga berperilaku konsumtif dan menciptakan nilai-nilai kehidupan yang tak wajar. "Ah, kau kan tidak tahu bahwa mereka sudah menyelesaikan tugas rumah tangganya?" "Seberapa maksimal pekerjaan rumah tangga yang dikerjakan dengan terburu-buru karena ingin menonton Briptu Norman? Seberapa banyak sisa waktu yang dapat mereka gunakan untuk mencoba resep makanan terbaru? Bahkan berbincang dengan suami dan anak-anaknya mungkin seperlunya." "Oho, jangan-jangan anaknya malah diajak bergunjing tentang selebriti dan menonton sinetron" Kartini mengusap airmata dari pipinya yang halus dan bergumam : "Jangan kautambah gundah hatiku. Mengapa mereka menjadi seapatis itu?" "Ah, sudahlah jangan gundah. Banyak diantara mereka yang pergi ke pengajian hampir tiap hari karena kini setiap kelurahan, birojasa ibadah Haji dan komunitas tertentu menyelenggarakan pengajian bahkan mereka membentuk majelis taklim." "Oh betulkah? Menurutku itu bagus. Apakah mereka sudah mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari pengajian? Berapa jumlah majelis taklim tersebut?" "Dikota ini ? Mungkin 100, mungkin lebih." "Kalikan 100 majelis taklim dengan frekwensi pengajian seminggu sekali dengan jumlah jamaah kurang lebih 50 orang dan masing-masing menyumbang Rp 5.000 untuk kencleng" "mmmm................seratus juta rupiah per bulan" "Jumlah yang banyak bukan. Padahal itu bukan angka valid karena kemungkinan jumlahnya lebih besar dari itu. Cukup besar untuk membantu rekannya sesama perempuan. Negara ini sedang "sakit"! Perlu menggalang kesetiakawanan sosial. Menggalang solidaritas." "Ah seperti jargon partai !" "Jangan terjebak pro dan kontra partai politik. Hanya karena disuarakan partai politik bukan berarti semangat solidaritas sosial menjadi buruk." "Apa yang kauharapkan?" "Dengan dana itu mereka bisa mendirikan kursus bahasa Inggris gratis. Atau kursus masak gratis. Atau kursus-kursus lain yang diperlukan perempuan yang kebetulan tidak mampu membayar biaya kursus yang sangat mahal per paketnya. Mereka juga bisa mengajari anak jalanan baca tulis. Atau membentuk PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)." "Jangan kausamakan dengan dirimu yang kebetulan mendapat fasilitas. Merintis sesuatu adalah tugas yang sulit. Apalagi mengumpulkan anak jalanan, wah!" "Kalau enggan memulai, banyak tempat yang memerlukan tenaga sukarela. Misalnya lapas wanita. Mereka bisa memberi pelajaran membaca karena masih banyak napi yang butahuruf. Atau pelajaran Bahasa Inggris, Kerajinan tangan atau apapun yang sangat berguna membantu mereka menghabiskan waktu sambil membekali mereka agar siap ketika bebas kelak." "Kau berharap terlalu banyak, terlalu tinggi! Mereka juga sering mengumpulkan dana untuk korban bencana alam", elakku sambil bersungut-sungut. "Anak TKpun bisa menyumbang korban bencana alam!! " Aku ternganga tapi tak kehabisan kata. "Apakah kau tahu, sekarang mereka mempunyai suara 30 % di parlemen." Kartini menggeleng, matanya meredup. "Aku tahu. Percuma! Apabila mereka menjadi anggota parlemen hanya karena fisik perempuannya tapi tidak sanggup menyuarakan kepentingan perempuan. Hingga hasil keputusan umumnya selalu netral gender. "Maksudmu?" "Perempuan itu spesifik, istimewa. Hanya perempuanlah yang mampu memperjuangkan kepentingan air bersih dan cuti haid. Perempuan juga yang mengetahui bahwa dirinya memerlukan ruang laktasi hingga perlu diperjuangkan keberadaannya di mall-mall. Sehingga perempuan tidak harus mengeluarkan payudaranya untuk menyusui anaknya di tengah keramaian. Karena pria yang melihat hanya akan berfikir : Wah, bisa terkena Undang-Undang Pornografi nih." Terpaksa aku tersenyum mendengar kalimatnya yang terakhir. "Jadi, apa yang harus mereka lakukan?" "Mereka harus mempunyai kepedulian yang jelas tentang posisi perempuan di masyarakat. Berupaya lebih peduli pada persoalan-persoalan perempuan dan jangan hanya "diam" karena enggan mengartikulasikan persoalan-persoalan tersebut." "Begitu banyak pekerjaan rumah mereka. Menurutmu, mengapa ini semua terjadi ?" "Karena banyak perempuan yang masuk parlemen sekedar memenuhi quota. Sehingga mereka hanya menjadi "pajangan". Tapi aku optimis, perubahan akan terjadi apabila mereka mau belajar." "Nampaknya tidak ada perempuan yang benar di matamu ?" "Oh kau salah. Banyak perempuan Indonesia yang patut dibanggakan. Banyak perempuan Indonesia yang menjadi tulang punggung keluarga dengan menjadi pembantu rumah tangga di negeri orang, menjadi buruh angkat barang, menjadi tukang batu. Tapi yang paling hebat adalah perempuan yang mau menjadi Kader PKK. "Kader PKK??" "Ya, mereka mau membantu mendata dari rumah ke rumah. Mengurusi Posyandu. Mendatangi penyandang cacat dan berusaha membantu mereka mencari solusi. Padahal mereka tidak dibayar sepeserpun. Banyak diantara mereka yang tidak lulus SD. Banyak diantara mereka dari golongan menengah kebawah tapi harus mengetuk pintu gerbang rumah tak ramah milik orang yang kebetulan adalah tetangganya. "Ah, mereka hanya bekerja sebulan sekali. Atau mungkin seminggu sekali, tergantung kegiatan PKK." "Itulah yang kumaksud kesetiawanan sosial. Menggunakan sedikit waktu yang dipunyai setelah menyelesaikan rumah tangganya. Dengan sedikit waktupun banyak yang telah mereka kerjakan. Mereka bergerak tanpa banyak kata. Tanpa pamrih. Padahal mereka punya pilihan untuk tetap tinggal di rumah. Menonton sinetron dan infotainment bersama anak cucunya." "Anak cucu? Maksudmu?" Kartini tersenyum miris. "Aku sedih. Karena banyak dari mereka sudah sepuh. Mereka baru berhenti bekerja ketika tubuhnya makin renta, tak mampu digerakkan karena termakan usia. Hampir tidak ada regenerasi. Karena tidak ada kaum perempuan muda yang berminat menjadi Kader PKK. Bisa kaubayangkan apabila banyak perempuan yang ingin menjadi anggota dewan legislatif memulai karirnya sebagai Kader PKK ? Bertemu dengan banyak karakter di lingkungannya. Diterima atau ditolak kedatangannya. Dihina dengan hanya ditemui dari balik pagar nan mewah atau justru diberi secangkir teh manis dan diajak mengobrol. Menemui banyak kasus. Mengerti kondisi sosial masyarakat. Mengerti kebutuhan masyarakat. Sehingga ketika dia duduk di parlemen, dia sungguh-sungguh membawa aspirasi rakyat. Bukankah ajang pemilihan legislatif tahun 2009 kemarin sungguh lucu? Banyak perempuan yang tidak diketahui sepak terjangnya tiba-tiba memenuhi setiap ruang di pinggir jalan dengan poster dirinya. Seolah hanya berbekal kemolekan wajahnya maka masyarakat akan memilih dirinya. Ya ampun, apa yang dipikirkannya? Aku .........................sungguh malu!" Kartini tercekat. Aku terdiam. Bandung, 21 April 2011 [caption id="attachment_103909" align="aligncenter" width="500" caption="Kunjungan ibu PKK ke rumah penyandang difabel"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H