Lihat ke Halaman Asli

Maria G Soemitro

TERVERIFIKASI

Volunteer Zero Waste Cities

Betulkah Bakrieland Salah?

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bogor Nirwana Residence, gersang !

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="banjir bandang di sekitar perumahan Bakrieland"][/caption]

Ada semacam justifikasi yang sulit dibantah : “Investor atau si kaya adalah subjek yang arogan dan selalu salah sedangkan si miskin adalah objek atau sekedar pelengkap penderita yang selalu benar”. Membentuk paradigma mentah tanpa ada keinginan dari masing-masing pihak untuk bermusyawarah karena terbelenggu pembenaran semu.

Hal tersebut rupanya juga berlaku ketika banjir bandang menerjang 31 rumah di 6 kelurahan  Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor pada hari Kamis, 26 Mei 2011. Warga setempat menuding keberadaan perumahan mewah Bogor Nirwana Residence (BNR) yang dibangun perusahaan Bakrieland sebagai penyebabnya.

[caption id="" align="aligncenter" width="470" caption="ketika banjir bandang di sekitar Bakrieland surut  "][/caption] sumber gambar : disini dan  disini

Tudingan klise yang beralasan karena lahan perumahan tersebut sebelumnya adalah lahan pertanian yang cukup mampu membantu peresapan air hujan. Tudingan lainnya, perumahan BNR tidak menata drainase dengan baik. Sehingga layak apabila  pihak BNR menanggung kerugian yang mengakibatkan sejumlah ternak dan harta benda warga hanyut terbawa air.

Apa pendapat pihak pengembang? Mereka berjanji melakukan perbaikan dan membantu warga. Tapi tentu saja dengan mengomel dan menuduh justru wargalah yang jorok membuang sampah sehingga sampah menyumbat gorong-gorong saluran air.

“Gorong-gorong terpampat karena sampah yang berasal dari warga di luar BNR. Warga  terbiasa membuang sampah di kali Cibeureum sehingga sampah menyumbat saluran air dan mengendap disekitar cluster Harmony perumahan BNR,” kata Wahid, Humas BNR.

Saling salah menyalahkan tersebut seharusnya tidak terjadi ketika pihak pengembang dan warga mau bertemu dan bermusyawarah sebelum proyek dibangun. Karena harusnya ada yang menjembatani jurang antara si kaya (pemilik modal) dan si miskin (warga yang tanahnya telah dibeli). Target si pemilik modal adalah keuntungan tetapi salah besar apabila  menafikan kultur sosial dan kondisi lingkungan tempat proyek dibangun. Urusan silaturahmi untuk mufakat akan menimbulkan biaya yang lebih  murah dibanding hantam kromo membangun proyek tanpa permisi.

Contoh nyata adalah apa yang dilakukan Walikota Surakarta, Joko Widodo. Dengan perhitungan cermat dia melobby para pedagang kaki lima. Biaya awal tinggi akan terkompensasi dengan biaya akhir rendah. Demikian juga dengan pengembang BNR, khususnya karena mereka bukan pengembang kelas ecek-ecek. Sehingga harusnya sudah menganggarkan biaya sosial dan biaya lingkungan yang dapat mengantisipasi kemungkinan terburuk seperti datangnya banjir bandang.

Investasi tambahan berupa sumur resapan, penanaman pohon pada lahan terbuka hijau dan penataan drainase yang baik akan sangat membantu mereka keluar dari masalah. Bahkan pembangunan sumur resapan dan penanaman pohon adalah kewajiban yang harus dipenuhi pengembang sebagai salah satu persyaratan izin mendirikan bangunan.

Terlebih lagi apabila warga dan pihak pengembang mau bahu membahu menanam pohon , membangun Tempat Pembuangan sampah Sementara (TPS) agar warga tidak membuang sampah di sungai. Juga memelihara turap dan menjaga kelancaran  aliran  air .

Sebetulnya sekedar pembangunan turap tidak akan menyelesaikan masalah. Ambrolnya turap tidak bisa dihindarkan, hanya soal waktu, khususnya  mengingat cuaca yang makin tidak bersahabat . Memperlama kekuatan turap dapat diantisipasi dengan membangun  fondasi lebih dalam daripada kekuatan resapan air. Pertanyaannya :  Mungkinkah?

Karena itu ada larangan pembangunan tempat tinggal di sepanjang daerah aliran sungai (DAS). Jadi ambrolnya turap dan bangunan diatasnya sebetulnya sudah diprediksi. Solusinya adalah menanami bagian-bagian tepian sungai yang memungkinkan untuk ditanami.

Daerah aliran sungai (DAS) seharusnya hanya boleh ditanami pepohonan bambu seperti halnya pepohonan bakau di pantai.

Semuanya memang harus kembali ke kearifan lokal, seperti pepatah nenek moyang :

Gawir awian, walungan rawatan! Artinya kurang lebih : tepian sungai tanamilah dengan bambu, aliran sungai peliharalah! Pepatah nenek moyang yang mengandung kearifan lokal tersebut menjelaskan mengapa banyak proyek sering gagal atau menimbulkan masalah. Kearifan lokal dianggap kuno, urusan silaturahmi dianggaphanya menghabiskan waktu dan biaya. Padahal banjir bandang mungkin dapat dielakkan apabila kedua belah pihak mau bermusyawarah untuk mufakat. Bukankah isi sila ke empat Pancasilabelum berubah ? [caption id="attachment_113073" align="aligncenter" width="500" caption="peraturan imb bagaikan macan kertas"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="614" caption="Bogor Nirwana Residence, gersang !"][/caption] sumber gambar :disini [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="tempat wisata di Bogor Nirwana Residence"][/caption] sumber gambar : disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline