Lihat ke Halaman Asli

Maria G Soemitro

TERVERIFIKASI

Volunteer Zero Waste Cities

Menangkap dan Menyimpan CO2 Dengan Carbon Capture Storage

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="" align="aligncenter" width="568" caption="Carbon Capture and Storage"][/caption] Berbagai cara ditempuh untuk mencegah dan mengendalikan emisi CO2.  Mencegah emisi CO2 jelas lebih murah tetapi lebih sulit. Bagaimana mungkin menghentikan pengeboran migas (bahan bakar fosil), menghentikan industri baja, semen, LNG serta menghentikan  transportasi. Karena itu sejak tahun 1980-an negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Norwegia berjibaku mencari jalan mengendalikan emisi CO2 agar tidak dilepas ke atmosfer. Salah satu metode pengendalian emisi CO2 adalah Carbon Capture  Store (CCS). Yaitu suatu  metode menangkap dan menyimpan CO2 yang meliputi langkah-langkah sebagai berikut : 1.     Langkah pertama : CO2 ditangkap dari penghasil CO2 yang besar misalnya pembangkit listrik berbahan bakar fosil. 2.    Langkah kedua : Transport CO2 (pemindahan CO2). Setelah ditangkap, milyaran ton emisi CO2 dikompresi menjadi cair agar mudah diangkut ke tempat penyimpanan yang sesuai. Untuk penyimpanan di tambang migas offshore. Co2 diangkut melalui jalur pipa offshore, menggunakan kapal  atau kombinasi keduanya. 3.      Langkah ketiga adalah penyimpanan CO2. Tempat penyimpanan paling praktis untuk menyimpan emisi karbon dalam jumlah banyak biasanya reservoir minyak atau gas yang sudah tua. Professor Geologi Universitas Edinburgh, Stuart Haszeldine mengungkapkan :"Cukup banyak tempat penyimpanan potensial di bumi ini. Yang diperlukan adalah reservoir berpori dan berlapis yang ditutup batuan lumpur dan garam, kedua bahan yang mudah dicari di dunia." Saline aquifers merupakan batuan berpori berisi air yang sangat asin. Lapisan ini dapat menjadi tempat untuk menyimpan CO2. Studi Geologi menunjukkan bahwa terdapat banyak lapisan saline aquifers yang berpotensi menampung semua emisi C02 di Eropa sampai abad berikutnya. 4.      Langkah keempat adalah monitoring (pemantauan). Memantau dan memverifikasi jumlah CO2 yang tersimpan sangatlah penting jika penyimpanan CO2 digunakan untuk memenuhi komitmen nasional dan atau internasional sebagai dasar perdagangan emisi. Setiap tempat penyimpanan CO2 harus diperiksa untuk mengetahui ada tidaknya kebocoran CO2 dari tempat penyimpanan. Tiga tehnik untuk menangkap CO2 dari bahan bakar fosil adalah : post-combustion, pre-combustion dan oxyfuel combustion capture. 1.     Tehnik post-combustion menangkap CO2 dari gas buang pembangkit listrik setelah  bahan bakar fosil dibakar. Gas buang akan melewati absorber tower yang mempunyai bahan kimia khusus (biasanya amina). Amina berfungsi untuk menyerap CO2 dari gas buang. Amina yang kaya CO2 tersebut dipanaskan untuk melepaskan CO2 murni. Kemudian dimampatkan menjadi cair sehingga dapat dipindahkan jauh dari tempat asal. Setelah dingin, amina disirkulasikan kembali ke system penangkapan untuk dipakai ulang. Tehnik post-combustion dianggap sebagai tehnik penangkapan terbaik dan telah digunakan selama bertahun-tahun. Tehnik dasar ini digunakan industry minuman bersoda selama kurang lebih 60 tahun. Tantangan tehnik ini adalah memperbesar skala dan proses untuk menangani sejumlah besar CO2 yang kebanyakan dihasilkan industry pembangkit listrik. 2.    Tehnik pre-combustion biasanya diterapkan pada Integrated Gasification Combine Cycle (IGCC) yaitu pembangkit listrik tenaga batu bara  dan penangkapan CO2 dilakukan sebelum batu bara benar-benar membara. Batu bara dipanaskan secara perlahan untuk mengeluarkan synthetic gas yang terdiri dari karbon monoksida dan hydrogen. Karbon monoksida yang  direaksikan dengan air untuk menghasilkan hydrogen dalam jumlah lebih banyak daripada CO2. CO2 dipisahkan dan dikompresimenjadi cair agar mudah dipindahkan. Hidrogen yang dihasilkan digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Kekurangan tehnik pre-combustion adalah tidak dapat dilakukan retro-fitted pada pembangkit batu bara jenis lama yang saat ini masih banyak digunakan untuk menyediakan listrik di dunia tetapi merupakan metode alternatif yang efisien untuk pembangkit batu bara di masa mendatang. 3.    Tehnik oxyfuel combustion yaitu membakar bahan bakar fosil dengan oksigen murni alih-alih dengan udara. Gas buang yang dihasilkan hampir seluruhnya terdiri dari CO2 dan air. Air dikeluarkan melalui kondensasi sedangkan CO2 dikompresi agar dapat dipindahkan. Tehnik ini dapat menghasilkan tingkat penangkapan CO2 yang sangat tinggi, kekurangannya metode ini membutuhkan banyak energy untuk menghasilkan oksigen murni sehingga relative tidak efisien. Masih diperlukan banyak penelitian untuk memperbaiki tehnik ini. Bagaimana penerapan teknologi carbon capture storage (CCS) di Indonesia? Agaknya masih jauh, karena belum ada negara berkembang yang mengembangkan risetnya. Apalagi mengaplikasikannya. Hal tersebut disebabkan biayanya yang mahal dan jauh dari komersial. Jepang merupakan salah satu negara terbaru yang menerapkan teknologi CCS. Pada tahun 2009 dialokasikan ¥ 3,3 miliar ($ 35 juta) untuk proyek tersebut dan pada Maret 2010 mulai menyimpan CO2 100,000 ton per tahun. Sebuah organisasi penelitian pemanasan global Jepang, Research Institute of Innovative Technology for the Earth  memperkirakan 150 miliar ton CO2 dapat disimpan bawah tanah di Jepang dan di sekitar wilayah pesisir dalam laut. Biaya mengendalikan emisi CO2 sungguh mahal dan prosesnya cukup merepotkan. Karena itu dapat dimengerti ketika negara-negara maju menghendaki Indonesia menghentikan deforestasi serta mendukung komitmen Indonesia untuk menekan emisi gas rumah kaca nasional hingga 41 persen. Suatu angka  ambisius yang sudahh dimulai pemerintah Indonesia dengan menerbitkan Inpres nomor 10 tahun 2011 yang diantaranya berisi penundaan pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi  biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) selama 2 tahun. Indonesia memang bukan negara industri. Pembangkit listriknyapun tidak sebanyak negara maju terbukti hanya sekitar 66 % rakyat Indonesia yang menikmati listrik. Emisi CO2 tertinggi hanya berasal dari transportasi karena itu Pemerintah Indonesia tidak harus dipusingkan tenologi Carbon Capture Storage. Bahkan  Indonesia mendapat suntikan dana dari Norwegia sebanyak 200 juta dolar AS untuk tahap satu dan tahap kedua, serta 800 juta dolar AS untuk tahap ketiga. Jadi, kapan Indonesia akan mulai menanami hutannya yang gundul? Sumber data :

disini




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline