Lihat ke Halaman Asli

Maria G Soemitro

TERVERIFIKASI

Volunteer Zero Waste Cities

Analisis Minat dan Potensi Anak dengan Tes Sidik Jari, Mungkinkah?

Diperbarui: 4 April 2017   17:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

minat dan potensi melalui tes sidik jari?

[caption id="" align="alignnone" width="506" caption="minat dan potensi melalui tes sidik jari?"][/caption] Tidak mudah menjadi orang tua. Terlebih ketika tanda lulus sekolah hampir diraih tapi ternyata anak gamang menentukan pilihan sekolah. Padahal psikotes yang menunjukkan minat dan potensi anak sudah dilakukan di tahun pertama Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan tahun pertama Sekolah Menengah Atas (SMA). Sehingga seharusnya orang tua dan anak cukup mempunyai  bekal untuk memilih jurusan sekolah yang akan diambilnya. Apakah IPS atau IPA? Demikian juga jurusan Perguruan Tinggi yang dirasa paling tepat karena sesuai bakat dan minat. Tetapi  kegamangan orang tua dan anak rupanya menciptakan pasar baru. Dengan iming-iming  hasil  tes grafologi lebih akurat  maka  jasa tes grafologi untuk mendeteksi minat bakat  anak beserta konselingnya bermunculan. Sesungguhnya grafologi bukan sesuatu yang baru karena  sudah dipelajari di Klinik psikologi Harvard tahun 1930  dan dikembangkan tahun 1955 untuk menilai karakter dari tulisan tangan. Sehingga tes grafologi dalam bidang pendidikan akan sangat membantu mengetahui bakat dan minat seorang anak juga untuk program konseling di sekolah. Selain berguna dalam bidang pendidikan, tes grafologi sangat membantu di bidang kriminalitas, forensik dan konseling. Ada lagi satu tes Minat dan Potensi terbaru yang  ditawarkan pada orang tua yaitu melalui analisis sidik jari (fingerprint analysis). Baik  tes grafologi maupun tes sidik jari ditawarkan pada orang tua dan sekolah-sekolah dengan biaya Rp 500.000/anak/paket. Biaya menjadi relatif nilainya apabila memang sungguh diperlukan untuk anak tersebut. Karena itu tulisan psikolog Sarlito Wirawan Sarwono mengenai tes sidik jari yang berhasil menyimpulkan beberapa poin sebagai berikut kiranya patut dipakai sebagai rujukan :

Dari sejumlah 40.000 jurnal psikologi yang tersimpan di Asosiasi Psikologi Amerika (APA) tidak diketemukan hubungan sidik jari dengan bakat, kepribadian atau kecerdasan anak. Mr Google mempunyai banyak jawaban tentang tes sidik jari. Bahkan ada website tentang tes sidik jari yang menceritakan keilmiahan metode analisis kepribadian dengan test Sidik Jari ini. Juga testimony dari orang-orang yang pernah mencoba test yang katanya pelaksanaannya sangat mudah. Salah satu kalimat promosi tes sidik jari mereka adalah : Analisa sidik jari memiliki tingkat akurasi lebih tinggi daripada metode pengukuran lain. Klaim akurasi 87%.Kalau benar demikian maka tes sidik jari ini sungguh luar biasa. Seorang ibu yang sudah mengetahui seluruh "rahasia" kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, tinggal ongkang-ongkang kaki karena dia hanya perlu mengatur anaknya sesuai dengan petunjuk hasil test Sidik Jari, dan anaknya akan menjadi orang yang pandai, jujur, kreatif, berbakti pada orangtua, beriman, bertakwa, saleh/salehah. Lebih senang lagi anggota Densus88. Tidak perlu berpayah-payah lagi mereka. Cukup dengan memeriksa sidik jari, mereka bisa mengidentifikasi pembom bunuh diri menangkapnya dan memasukkannya ke penjara. Tetapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Upaya manusia untuk mempelajari jiwa sudah berawal sejak zaman Socrates, 400 thn sebelum Masehi, dan melalui perjalanan sejarah yang panjang sekali, serta mendapat masukan dari berbagai ilmu, termasuk ilmu faal dan kedokteran, serta matematika, Wilhelm Wundt baru menyatakan Psikologi sebagai Ilmu yang mandiri pada tahun 1879 di Leipzig, Jerman (versi Amerika oleh William James, di sekitar tahun yang sama di Universitas Harvard). Pasca kelahirannya, Psikologi berkembang terus, termasuk mengupayakan berbagai teknik dan metode untuk mengukur berbagai aspek kepribadian, termasuk test IQ, minat, sikap, bakat, emosi dan seterusnya. Kemajuannya sangat langkah-demi-langkah, tidak ada yang langsung meloncat, dan sebagaimana ilmu pengetahuan lainnya, setiap kemajuan, temuan atau kritik selalu dilaporkan dalam jurnal-jurnal dan seminar-seminar psikologi seluruh dunia. Teknik analisis sidik jari juga sudah berkembang sejak 1800an, dan mulai dipakai oleh FBI pada tahun 1924. Tetapi tujuan penggunaannya adalah untuk menentukan identitas fisik seseorang. Misalnya, apakah benar sidik jari yang ditinggalkan pelaku di TKP (Tempat Kejadian Perkara) perampokan adalah milik si Fulan. Sebelum ditemukan system DNA, Daktiloskopi lah yang menjadi andalan Polisi. Namun di kemudian hari, nampaknya teknik analisis Sidik Jari yang awalnya hanya untuk identifkasi fisik, berkembang menjadi teknik identifikasi psikis (kejiwaan) juga. Ilmuwan Inggris Sir Francis Galton, sepupu Sir Charles Darwin adalah penganut teori evolusi. Dia percaya bahwa kepribadian ditentukan oleh bakat-bakat yang dibawa sejak lahir dan bakat-bakat itu terukir di sidik jari setiap orang. Maka ia menerbitkan buku "Finger prints" (1888) dan memperkenalkan klasifikasi sidik jari yang dihubungkan dengan klasifikasi kepribadian. Pasca Galton, nampaknya Dermatoglyphs semakin berkembang dan diyakini sebagai ilmu pengetahuan yang sahih, lengkap dengan buku-buku dan jurnal-jurnal "ilmiah" mereka sendiri. Kalau kita cari di Google, dengan kata kunci Dermatoglyphs akan keluar lebih dari 70.000 informasi, tetapi semuanya di luar komunitas ilmu psikologi. Dengan demikian Dermatoglyphs sebenarnya adalah pseudo science (ilmu semu) dari psikologi. Ilmu semu lain dalam psikologi yang banyak kita kenal adalah Astrologi (banyak di majalah-majalah wanita dan remaja), Palmistri (ilmu rajah tangan), Numerologi (meramal atau menjodohkan orang dengan menggunakan angka-angka tanggal lahir dsb.), Tarrot (dengan menggunakan kartu-kartu) dan masih banyak lagi. Semua itu mengklaim diri sebagai ilmu, lengkap dengan literatur dan teknik masing-masing, dan memang nampaknya sahih dan canggih. Tetapi ada satu hal yang tidak bisa dipenuhi oleh semua ilmu semu, yaitu tidak bisa diverifikasi teorinya. Dalam Astrologi, misalnya, tidak pernah bisa dibuktikan hubungan antara singa yang galak, dengan bintang Leo. Apalagi membuktikan manusia berbintang Leo dengan sifatnya yang galak. Kesimpulannya menurut Sarlito, tidak bisa diverifikasi bagaimana hubungan antara sidik jari (bawaan) dengan sifat, minat, perilaku, apalagi jodoh dan karir, bahkan kesalehan seseorang yang merupakan hasil dari ratusan variable seperti faktor sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, lingkungan alam, dan sebagainya, termasuk sedikit faktor bawaan. Pandangan bahwa kepribadian ditentukan oleh fator bawaan (nativisme) sudah lama ditinggalkan oleh Psikologi . Teori yang berlaku sekarang adalah bahwa kepribadian ditentukan oleh pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Karena itu untuk memeriksanya diperlukan proses yang panjang (metode psikodiagnostik, assessment) dan biaya yang lumayan banyak. Sarlito menyarankan jangan membuang-buang uang hanya untuk sekedar ingin tahu , khususnya ingin tahu hasil tes sidik jari. Karena ilmu tes sidik jari merupakan ilmu semu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Jadi, bagaimana kalau kegamangan terjadi pada anak dalam menentukan pilihan sekolah? Mengarahkan, menyoba memahami dan menghargai pilihan anak, mungkin merupakan keputusan bijak. Karena si anak akan belajar bertanggung jawab atas pilihannya. Dikotomi IPA ; IPS harusnya sudah tidak ada lagi. Apalagi menganggap suatu jurusan di perguruan tinggi  lebih baik daripada jurusan lainnya. Karena semua ilmu saling melengkapi. Apalah jadinya hidup seorang dokter tanpa apoteker, arsitektur, tukang bangunan bahkan juru masak? Yang terpenting bagaimana seseorang memaknai  dan mengisi hidupnya dengan bahagia. sumber  data :

http://edukasi.kompas.com/read/2010/06/01/09254283/Gali.Potensi.lewat.Analisa.Sidik.Jari

http://www.psikologizone.com/grafologi-membaca-kepribadian-dari-tulisan-tangan

http://news.okezone.com/read/2011/05/15/58/457267/sidik-jari

sumber gambar : disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline