[caption id="attachment_105633" align="aligncenter" width="500" caption="Siap bermain air Cikapundung (dok. Maria Hardayanto)"][/caption] Asep berlari kedalam rumah, melepas semua bajunya kemudian dengan bertelanjang bulat dia berlari menuju tepian sungai Cikapundung dan ........byurr....dia bergabung dengan teman-temannya untuk sekedar berkecipak air. Maklum Asep baru berumur 3 tahun. Teman-temannya yang lebih besar berenang agak ketengah. Sebagian lagi merengek meminjam ban bekas pada sekelompok anggota Komunitas Peduli Cikapundung Bersih yang sedang menata ban bekas bewarna-warni dipinggiran sungai. Anak-anak itu seolah tak peduli bahwa ada pejabat yaitu Wakil Walikota Bandung yang sedang temu wicara dengan anggota komunitas. Berembug untuk memecahkan permasalahan sungai Cikapundung. Sementara sebagian dari anggota komunitas menyiapkan pentas kesenian lokal diatas panggung seadanya. Sungai Cikapundung memang sedang merias diri. Dimulai Agustus 2010, Wakil Walikota Bandung, Ayi Vivananda bersepakat dengan masyarakat seputar sungai Cikapundung untuk mencanangkan Sungai Cikapundung bersih dalam program ProKaSih (Program Kali Bersih) dan menargetkan 8 km pertama bersih di tahun 2011. Dimulai dari Curug Dago hingga Kelurahan Taman Sari. Total panjang sungai Sungai Cikapundung yang melewati Kota Bandung adalah 15,5 Km. Melewati 7 kecamatan, 15 kelurahan dan 12 anak sungai. Apa yang mereka lakukan? Banyak! Diantaranya adalah festival kukuyaan yaitu suatu permainan menggunakan pelampung yang terbuat dari ban, dimana orang merebahkan dirinya diatas ban dan melaju menggunakan kederasan air sungai tersebut. Juga pertunjukan barongsai dan beragam kesenian setempat seperti Karinding, Lengser dan Kecapi. Konsekuensinya, sungai harus bersih. Karena itu diadakan juga Operasi Kuya yaitu lomba membersihkan Sungai Cikapundung yang diikuti 200 peserta dan pemenangnya mendapat trophy dari Walikota Bandung. Tapi esensi dari semua kegiatan adalah menumbuhkan kepedulian penduduk sepanjang Sungai Cikapundung terhadap sumber daya alamnya. Sungai yang semula dianggap tempat pembuangan sampah hingga bewarna hitam dan menimbulkan gatal-gatal, secara berangsur digunakan sebagai tempat rekreasi. Masih sebatas dinikmati oleh penduduk sekitar dan anak-anak. Tetapi target akhirnya tak main-main yaitu tempat wisata dimana setiap pengunjung dapat menikmati keindahan Sungai Cikapundung sambil berarung jeram, permainan kukuyaan dan flying fox. [caption id="" align="aligncenter" width="485" caption="persiapan arung jeram"]
[/caption] sumber gambar : disini Dan seorang pejabat seperti Ayi Vivananda haruslah menempatkan dirinya sebagai pemersatu, pelindung dan fasilisator karena walaupun di sepanjang Sungai Cikapundung bermukim etnis yang sama, tetapi ada keberagaman kebutuhan yang harus difasilitasi. Sebagai contoh kini sudah terbentuk 24 komunitas yang tersebar di sepanjang sungai Cikapundung tetapi ada lebih banyak lagi penduduk yang merasa anggota komunitas adalah anggota eksklusif hanya karena perbedaan sudut pandang dan kegemaran. Nandang (56 tahun) dan teman-teman misalnya. Mereka mempunyai keasyikan tersendiri dengan memancing di Sungai Cikapundung. Karena di area tertentu ada semacam cekungan cukup dalam tempat ikan berlindung, baik ikan yang tidak sengaja lolos dari tempat pembudi daya ikan maupun benih ikan yang sengaja ditebar di Babakan Siliwangi Bandung. [caption id="attachment_105616" align="aligncenter" width="500" caption="Hasil Pancingan : Ikan atau Sampah (dok. Maria Hardayanto)"][/caption] Langkah lain yang sedang dikerjakan pemerintah Bandung adalah menyediakan anggaran untuk membangun septic tank komunal karena 68 persen Sungai Cikapundung merupakan kawasan padat penduduk dimana setidaknya ada 1.058 bangunan di sepanjang bantaran Sungai Cikapundung yang masih membuang kotoran rumah tangganya ke sungai. "Keur cingogo ngusep, sok jol aya nu koneng-koneng, neng" cerita Nandang sambil tertawa. (terjemahan pen. : "Sedang asyik jongkok memancing, tiba-tiba ada yang kuning-kuning, neng") Tapi pelanggaran terparah dilakukan satu rumah sakit di utara Bandung, khususnya di jalan Ciumbuleuit yang membuang limbah medisnya ke sungai Cikapundung. Sehingga bertepatan pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia, tanggal 5 Juni 2011 akan diberlakukan denda bagi siapapun yang membuang sampah ke sungai. Pelanggar perseorangan akan mendapat sanksi denda sebesar Rp 250 ribu. Sedangkan badan usaha tidak hanya akan mendapat teguran tetapi juga ancaman penutupan kegiatan usahanya. Bandung sebetulnya mempunyai perda K3 (Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan) yaitu Perda nomor 11 tahun 2005. Pelaksanaan pengawasan perda akan diserahkan kepada masyarakat setempat dimana pelanggaran yang terjadi bisa dilaporkan kepada Satpol PP untuk ditindak. Ayi merasa optimis karena komunitas dan warga yang berdomisili di sepanjang Sungai Cikapundung sudah merasakan dampak positif aliran air yang bersih, deras dan bebas sampah. Selain pengawasan melekat pada warga yang bandel dan membuang sampahnya ke sungai, penanaman lahan kosong dengan tanaman akar wangi dan bambu harusnya menjadi salah satu alternatif. Karena hutan bambu rupanya mengundang sekawanan burung belekok untuk tinggal di daerah Cisaranten, Bandung. Suatu sinyal positif dalam usaha menciptakan ekosistem yang dibutuhkan bagi lingkungan hidup berkelanjutan. Dengan adanya predator, warga Bandung tidak usah was-was akan ada serangan ulat bulu. Langkah terakhir yang sudah mulai dilakukan adalah dengan penanaman kembali kawasan Bandung Utara oleh Dinas Kehutanan Jawa barat. Kawasan Bandung Utara gundul karena dirambah pengembang yang menjadikannya perumahan mewah. Juga alih fungsi lahan menjadi perkebunan sayur sehingga tanah menjadi gembur dan mudah longsor. Penanaman kembali pohon species khusus diatas tanah seluas 10,03 hektar di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat tersebut diharapkan dapat memulihkan Kawasan Bandung Utara sebagai daerah resapan air sekaligus kawasan hutan buatan untuk tempat pelestarian dan penelitian tumbuhan langka yang biasanya terdapat di hutan. Dari target 10.000 pohon, baru ditanam 5.000 pohon dari delapan family tanaman langka. Yaitu pohon puspa (Schima noronhoe), pohon meranti merantian (Dipterocarpaceae), pohon salam (Eugenia polyantha), pohon menteng (Baccaurea spp), pohon kecapi (Sandoricum koetjape), pohon jengkol (Pithecelopboum lobatum), pohon ki hujan (Samanea saman), pohon limus (Mangifera odoratisimus), pohon buni (Antidesma bunius), dan lain-lain. Kepedulian, partisipasi dan perjuangan tanpa henti dari semua elemen masyarakat diperlukan untuk mengembalikan lingkungan hidup yang terlanjur rusak untuk kembali ke sedia kala. Selain itu diperlukan juga kebijaksanaan yang saling melengkapi antar instansi. Bukankah pengambil keputusan dan pelaku kebijakan adalah warga masyarakat juga. Yang menerima dampak negatif akibat lingkungan hidup yang rusak akibat ditelantarkan dan didzalimi. Seperti pepatah karuhun : LEUWEUNG RUKSAK, CAI BEAK, MANUSA BALANGSAK..!!! Atau : NO FOREST, NO WATER, NO FUTURE ..!! [caption id="" align="alignnone" width="600" caption="Penebaran Benih Ikan oleh Wakil Walikota Bandung dan BioFarma"][/caption] sumber gambar : disini [caption id="attachment_105625" align="aligncenter" width="500" caption="bu...foto....bu.... (dok. Maria Hardayanto)"]
[/caption] [caption id="attachment_105630" align="aligncenter" width="500" caption="asyik kukuyaan sendiri...(dok. Maria Hardayanto)"]
[/caption] [caption id="attachment_105632" align="aligncenter" width="500" caption="Salah satu Komunitas : Kuya Tilu Belas (dok. Maria Hardayanto)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H