[caption id="attachment_81327" align="aligncenter" width="300" caption="di hari Ibu, napi wanita menjadi penjaga parkir"][/caption]
Saya selalu tidak mengerti, mengapa harus ada hari Ibu ? Sehingga terkesan hanya pada hari itulah seorang ibu mendapat tempat spesial. Setiap anak berlomba untuk memberikan hadiah, mengerjakan semua tugas rumah tangga atau bahkan ada yang rela menemani ibunya menonton sinetron (yang dikritiknya dalam hati, kok lebay amat sih?! )
Bukankah ikatan kasih sayang yang dibangun di setiap saat kesempatan tiba , hasilnya akan lebih indah daripada pernyataan kasih sayang yang diucapkan hanya setahun sekali ?
Tapi sudahlah, toh sudah ditetapkan tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu. Untuk Para Bapak yang cemburu dan ingin memiliki hari Bapak, silakan membuat grup dan mengajukan usulan. Karena bagaimanapun Bapak dan Ibu ibarat 2 sisi mata uang logam, saling mengisi dan tak terpisahkan. Kehilangan salah satu sisi pasti akan membawa ketimpangan, bagaimanapun seseorang tua tunggal berjuang melengkapinya.
Sehubungan dengan hari Ibu, saya mendapat undangan dari Lapas Wanita Golongan IIA Sukamiskin Bandung. Tempat yayasan kami memberi pelatihan pada para narapidana agar mereka mempunyai kegiatan kreatif untuk “membunuh waktu”. Sekitar 80 % dari narapidana yang berjumlah sekitar 250 orang umumnya tersangkut perkara narkoba. Karena itu saya betah disana, mengobrol, merangkul dan bercengkrama dengan narapidana yang cantik-cantik dan mengingatkan saya pada Zarima, si Ratu Ekstasi. Mereka tidak kalah cantik, hanya belum pernah main sinetron sehingga media tidak merasa perlu untuk mengangkat cerita mereka.
Semula saya pikir acara hari Ibu tanggal 22 Desember 2010 di Lapas Sukamiskin hanyalah acara seremonial yang menjemukan. Untunglah tidak, bahkan acara yang berlangsung dari jam 9 pagi hingga sore hari penuh dengan sukacita. Teristimewa karena ada Neno Warisman yang datang bersama kedua anak perempuan dan yayasannya. Neno Warisman memang entertainer sejati, dia bernyanyi, memberikan motivasi, dan tausiah sehingga acara mengalir begitu hidup, bersemangat dan tanpa terasa petang telah menjelang.
Salah satu faktor pendukung suksesnya acara adalah kedatangan Sarwana dan Dea Mirella yang selain menghibur para narapidana juga mengunjungi rekannya yang kebetulan menjadi warga binaan di tempat tersebut. Mereka bernyanyi dan mengajak warga binaan serta para tamu berjoged.
Insan yang bebas merdekapun bergembira ria apabila ada acara konser berbayar ataupun gratis. Apalagi bagi para narapidana yang sebelumnya terpaksa menghitung detik demi detik waktu yang dihabiskan dibalik tembok kemerdekaan.
Detik demi detik waktu yang dihabiskan hingga membentuk angka jumlah tahun hukuman mereka. Menambah beban mereka karena selama itu pula mereka berpisah dengan anak dan suami. Ada yang anaknya masih bayi ada pula yang mempunyai anak asuh hingga puluhan orang.
Dan hukum memang tidak pernah memihak kaum lemah yang tidak mampu membayar masa hukuman. Hingga mereka terbelenggu disana, apapun kasusnya yang jelas mereka tidak menilep uang pajak yang harusnya digunakan kesejahteraan masyarakat banyak. Mereka juga bukan pengusaha yang mampu membuat bencana bagi saudaranya hingga kehilangan rumah dan mata pencaharian seperti bencana lumpur Lapindo.
Mereka hanya terjebak dalam masalah yang tak bisa dipecahkan hingga tergoda bujuk rayu pengguna narkoba, mereka juga pencuri kecil yang tersudutkan dan digelandang masuk lapas (lembaga permasyarakatan).
[caption id="attachment_81335" align="aligncenter" width="210" caption="napi tertua, tidak bisa berbahasa Indonesia"]
[/caption]
Bukan berarti perbuatan mereka benar. Tetapi siapakah yang bisa mengukur kebenaran di dunia ini ? Karena itu saya hanya bisa mengatakan bahwa penghuni lapas adalah orang yang sial alias tidak beruntung. Mereka tidak beruntung hingga ketika sedang labil tergoda menggunakan narkoba. Mereka tidak beruntung karena tidak mempunyai cukup uang untuk menyogok. Mereka tidak beruntung karena ketidak beruntungan tersebut membuat mereka terkurung dalam tembok penjara. Mereka tidak beruntung karena tembok penjara membuat mereka terpisah dari orang-orang yang disayanginya.
Seorang napi berkata dengan pilu : “Masa hukuman saya tiga tahun. Selama dua tahun saya tidak pernah bertemu anak-anak. Entahlah apakah tahun depan ketika saya bebas, anak-anak saya masih mengingat saya ? Siapakah yang membujuk mereka makan sayur karena mereka sukanya makan nasi dengan c***i (merk makanan kecil yang berbentuk bulat-bulat dan kaya monosodium glutamate /msg) Adakah yang mengajari anak kedua belajar membaca, karena dia mau masuk SD ketika saya ditangkap polisi.”
“Lho , kenapa anak-anak tidak diajak kemari, menengok ibunya?”
“Tidak ah, selain karena rumah kami jauh di Bekasi sana. Biarlah mereka mengingat saya sebagai ibu tanpa stigma sebagai mantan napi!”
“Walau itu artinya ibu tidak bisa bertemu dengan anak ?”
“Ya ngga papa, saya tidak boleh egois. Lebih baik hati saya sedih karena anak-anak melupakan saya daripada anak-anak sedih ibunya adalah mantan napi.”
Sejenak saya tertegun, dan tanpa sadar saya mengusap airmata yang perlahan turun . Duh ibu...........
[caption id="attachment_81334" align="alignright" width="300" caption="Trio : Sarwana, napi wanita, Dea Mirella"]
[/caption] [caption id="attachment_81331" align="alignleft" width="300" caption="Sarwana (grup Warna), mengajak berjoged"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H