Lihat ke Halaman Asli

Maria G Soemitro

TERVERIFIKASI

Volunteer Zero Waste Cities

Protes ? Kasih Uang ajaaaaa.......

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Bangsa yang miskin tapi sombong, itulah bangsaku, Indonesia ! Ketika lalu-lintas Jakarta sebagai ibukota negara  terancam lumpuh , solusinya : Pindah !!! Kan negara kita Indonesia adalah negara kaya, mempunyai 17.508 pulau  dan merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.

Luasnya ? 1.904.569 km2, bandingkan dengan luas Belanda, negara yang betah menjajah selama 350 tahun tersebut hanya mempunyai luas 41.526 km2.

Tapi bandingkan juga pendapatan per kapita Belanda sebesar : US $ 29.332, sedangkan Indonesia hanya : US $ 2.238. Bisa saja kita berkilah , yah untuk pemerataan pendapatan itulahibukota negara, yang berarti pusat pemerintahan harus pindah. Padahal urusan lumpuhnya lalu-lintas Jakarta adalah satu soal sedangkan urusan pemerataan pendapatan itu soal lain karena meningkatkan kesejahteraan rakyat mah hukumnya wajib untuk pemerintah.

Arogansi yang sangat keterlaluan tapi tidak terasa, adalah pengelolaan sampah kota. Bandung menuangkannya melalui perda K3 dimana ditetapkan pada pasal 26 ayat (1) : penyelenggaraan kebersihan lingkungan dilaksanakan melalui koordinasi RT dan RW meliputi kegiatan pewadahan dan/atau pemilahan, penyapuan dan pengumpulan serta pemindahan sampah dari lingkungannya ke TPS (Tempat Pembuangan sampah Sementara).

[caption id="attachment_227421" align="alignleft" width="186" caption="doc : google"][/caption]

Sampah dari TPS yang menggunung disekitar daerah pemukiman jelas membutuhkan TPA (Tempat Pembuangan sampah Akhir). Perburuan tempatpun dimulai hingga ditetapkan Leuwigajah, tempat yang cukup jauh dari pusat kota, tapi terjangkau dalam arti tidak memakan banyak biaya transportasi. Semuanya terasa baik baik saja, masyarakat mau membayar uang iuran dengan catatan : pokoknya sampah tidak terlihat, tidak bau, lingkunganku bersih, ngga mau tahu sampahnya dibuang kemana !

Bahkan masyarakat merasa berjasa pada segelintir pemulung yang mengais rezeki diantara tumpukan sampah, tanpa mengindahkan kepulan asap beracun yang terpaksa harus mereka hirup.

Hingga datanglah bencana itu, bencana longsornya timbunan sampah pada tanggal 21 Februari 2005 yang mengakibatkan ratusan orang meninggal. Masyarakat Bandung , Cimahi dan Bandung Barat bingung, sampah menumpuk dimana-mana. Bandung lautan bunga menjadi Bandung lautan sampah.

Berkurangkah arogansi ? Sayang tidak, bukannya berusaha menjernihkan masalah dan mencari solusi yang tepat, semua pihak grasah-grusuh mencari tempat lain sebagai penggantiTPA pengganti Leuwigajah.

Toh Indonesia kaya, masih banyak tanah kosong, masih banyak lahan. Seolah tidak mau tahu bahwa ada masyarakat Indonesia lain yang berdomisilidi sekitar lahan kosong tersebut. Ah hanya segelintir !

Ah ? Hanya segelintir ? Mereka bangsa Indonesia juga , bung. Maukah taman kosong di depan rumah anda dijadikan tempat timbunan sampah yang berasal dari penduduk sekitar ?

Perburuan TPA pengganti TPA Leuwigajahpun menemukan tempat yaitu lahan Perhutani yang terletak di Desa Sarimukti seluas 21,2 hektar. Ikhlaskah penduduk sekitarnya menerima kiriman sampah ? Minimal melihat truk sampah berlalu-lalang di depan rumahnya, meninggalkan ceceran sampah dan tetesan air lindi ?

Jelas tidak. Tetapi melalui kesepakatan berupa pemberian kompensasi pelayanan kesehatan, pembangunan sarana pendidikan, pembangunan sarana jalan dan penerimaan pendapatan Desa sebanyak 10 % dari total sampah yang dibuang tiap harinya, hati masyarakat Desa Sarimuktipun luluh.

“Mangga”, kata mereka sambil berhitung setiap 1 meter kubik sampah (Rp 5.000,00/meter kubik) sesuai perjanjian, desa akan mendapat 10 % atau Rp. 500,00 karena 45 % merupakan jatah Perhutani sedangkan 45 % lagi untuk Kab. Bandung Barat.

Berapa estimasi penerimaan Desa Sarimukti dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 ? Sekitar Rp 600 juta hingga 1 milyar rupiah. Terwujudkah ? Maaf , tidak ! Semua hanya angin surga, jalan tempat lalu-lalang truk jangankan diperbaiki, kondisinya malah kian parah.

Pelayanan kesehatan ? Ngimpi !

Pembangunan sarana pendidikan ? Ngimpi !

Jadi, salahkah warga Desa Sarimukti yang mengancam akan segera menutup jalan kearah TPA Sarimukti apabila Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam jangka 2 minggu tetap mengabaikan perjanjian kesepakatan dengan warga ? (Pikiran Rakyat, 5 Agustus 2010).

Jelas tidak ! Merekapun berhak hidup nyaman. Mengapa orang kota membuang sampah, eh mereka yang kena getah sampahnya?

Lebih menyebalkan lagi ketika mereka sudah mengalah dengan sejumlah kesepakatan yang masuk akal , itupun diingkari. Padahal kalau boleh jujur sejumlah kompensasi sebetulnya adalah kewajiban pemerintah, misalnya: pembangunan sarana pendidikan, pelayanan kesehatan dan sarana jalan.

Kini, hampir 2 minggu berlalu ketika warga Desa Sarimukti mengancam akan menutup jalan kearah TPA Sarimukti. Tindakan nyata untuk mengantisipasi tidak dilakukan oleh siapapun, minimal mengajak segenap masyarakat Bandung, Cimahi dan Bandung Barat untuk mengelola sampahnya masing-masing.

Semua masih bersikap sama, seolah tak ada yang terjadi, semua baik baik saja.

TPA Sarimukti ditutup ? Ah masih ada tempat lain seperti Legoknangka yang konon luasnya 65 hektar. Penduduknya protes ? Kasih duit ajaaa ……….kan beres !

Pelaksanaan ? ……kumaha engke !!! (gimana nanti sajalah)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline