Keterbatasan fisik tidak menjadi hambatan bagi seorang petugas penjaga palang pintu kereta di daerah Kayu Manis. Disaat jumlah petugas penjaga pintu kereta kian menipis imbas dari kebijakan pemerintah, Bapak Agus, sebut saja begitu, tetap setia membantu warga yang mau melintasi rel kereta terutama untuk wilayah-wilayah tertentu yang pintu perlintasannya tidak beralih menjadi flyover karena keterbatasan lahan seperti di Kayu Manis.
Meski dirinya tuna wicara sejak lahir, beliau tetap bersemangat mengatur lalu lintas mobil dan motor agar tidak semrawut dan menimbulkan kemacetan panjang. Beliau dengan sigap menggunakan isyarat gerak tangan dan badan guna memudahkan pengendara memahami instruksinya. Meski terkadang banyak pengendara yang salah paham, namun beliau sama sekali tidak marah, beliau tak ragu untuk menjelaskan ulang.
Saat saya berhenti dari motor dan bertanya pada beliau, gaji yang diterima dari pekerjaannya bisa dibilang tidak banyak, tapi beliau tergerak untuk membantu masyarakat. 'Ini tindakan yang bisa saya lakukan kak, kasian kan kalo macetnya gak bisa terurai, apalagi bentar lagi kereta mau lewat. Bisa bahaya nanti', ujarnya lewat gestur yang perlahan coba saya pahami.
Saya salut dengan KAI yang mau memberi kesempatan kerja bagi kaum difabel seperti Bapak Agus. Sama halnya dengan kepolisian lalu lintas yang juga merekrut difabel untuk menjaga pertigaan Pulomas. Semua demi mewujudkan Indonesia yang lebih inklusif, menciptakan lingkungan kerja yang ramah disabilitas.