Barang-barang daur ulang itu akan dijualnya kalau sudah pada jumlah yang mencukupi atau ketika ia membutuhkan uang. Gajinya per-bulan tidak akan bisa diharapkan untuk memenuhi kebutuhan sekolah kedua anaknya, Supri dan Sunia. Sunia yang masih duduk di bangku kelas 2 SMP memang masih bisa bersekolah gratis dengan dana BOS pemerintah daerah tapi bagaimana dengan Supri yang sudah duduk di bangku kelas 3 SMA? Mungkin bisa dikatakan tidak ada bantuan lain dari pemerintah selain beasiswa.
Uang Rp. 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) yang diterimanya hanya cukup untuk biaya mereka sehari-hari, tagihan listrik saja dan ongkos berangkat sekolah kedua anaknya. Barang-barang rongsokan inilah yang menjadi lilin kecil ditengah kegelapan harapan sekolah Supri.
Sejak awal 2006, hidup mereka mulai berubah 180 derajat. Ketika peristiwa tragis merenggut nyawa ayah kedua anak Ibu Sutinah. Waktu itu suaminya bekerja sebagai seorang pegawai kantoran di sebuah perusahaan yang cukup terkenal di kota ini. Kehidupan mereka masih sangat layak dari pada kondisi saat ini.
Mentari masih bersinar menghangatkan sore itu, ketika suaminya pulang dari kantor. "Bu, tolong masak air panas buat air mandi Ayah, ya," pinta suaminya sembari membaringkan tubuh di sofa ruang tamu mereka. Tidak biasanya Pak Surya meminta Ibu Sutinah untuk memasak air panas untuk air mandinya. Biasanya ia lebih memilih mandi air dingin meskipun hari sudah larut malam. "Ada apa? Ayah sakit?" tanya Ibu Sutinah lembut sambil menyodorkan segelas air hangat. "Tidak. Ayah hanya ingin mandi air hangat. Barangkali akan lebih segar sore ini," ujar Pak Surya menyembunyikan rasa sakitnya.
Tanpa banyak tanya Ibu Sutinah menjalankan perintah suaminya. Ia menukar air bak menjadi air hangat untuk mandi suaminya. Ia lantas mengambilkan handuk bersih dan pakaian ganti sebelum memanggil Pak Surya. "Ayah, airnya sudah siap. Sudah ada handuk dan baju ganti juga," ujar Ibu Sutinah membantu Pak Surya berdiri dari tempat duduknya. "Makasih, Bu," jawab Pak Surya. Setelah melangkahkan kakinya beberapa langkah tiba-tiba Pak Surya nyaris rubuh. "Eh, Yah," ucap Ibu Sutinah bergegas memapah Pak Surya kembali ke sofa.
"Ayah kalau sakit jangan dipaksakan," ujar Ibu Sutinah mengusap wajah suaminya dengan sapu tangan yang diambil dari sakunya.
"Bu, tolong papah Ayah ke kamar mandi ya," pinta Pak Surya pada istrinya.
Ibu Sutinah memapah suaminya ke kamar mandi bahkan ia membantu suaminya mandi dan mengganti pakaiannya. Setelah memandikan Pak Surya, ia menghidangkan sup hangat sebagai santapan malam. Hingga hari menjelang malam, Pak Surya semakin melemah, wajahnya tampak lesu dan pucat. Kedua anaknya ikut menemani Pak Surya yang terbaring lemah. "Pak, kita ke rumah sakit ya." ajak Ibu Sutinah cemas. Beberapa kali ia terus menolak permintaan istrinya hingga harus dilarikan ke rumah sakit setelah tidak sadarkan diri lagi. Isak tangis mengiringi keberangkatan Pak Surya menuju ruang perawatan intensif-nya di ICU.
Keesokan harinya Ibu Sutinah menerima vonis dokter tentang penyakit suaminya. Anemia Hemolitik sudah menggerogoti tubuhnya sejak setahun belakangan ini. Bahkan sudah kecil kemungkinan untuk penyembuhannya namun hasratnya tak urung untuk berusaha menyembuhkan suaminya. Penyembuhan dengan X-Ray, kemotherapy, donor darah dan perawatan tradisional dilakukannya demi kesembuhan Pak Surya. Sesekali kondisi Pak Surya mulai membaik namun beberapa waktu kemudian menurun lagi.