Lihat ke Halaman Asli

Habib Rizieq Nyapres, Bayangan Kelam Indonesia di Bawah Kepemimpinan FPI

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1377269760149019680

[caption id="attachment_261242" align="aligncenter" width="300" caption="doc platmerahonline.com"][/caption]

Dagelan politik dalam menghadapi pemilu 2014 nanti memang tak pernah berhenti menyajikan sesuatu yang menggelitik nalar para pengamat maupun penikmat berbagai wacana demokrasi. Bagaimana tidak, kali ini mereka kembali dihadapkan dengan lelucon pencalonan seorang tokoh ormas kontroversial Habib Rizieq sebagai Presiden pada pemilu tahun depan nanti. Front Pembela Islam (FPI) menegaskan bahwa dalam Musyawarah Nasional (Munas) III yang digelar di Asrama Haji, Kota Bekasi ini menyatakan optimis bahwa Habib Rizieq akan mendapatkan dukungan dari seluruh umat, terutama mereka yang beragama Islam.

Hal itu diperkuat dengan dukungan pertama yang datang dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Achmad Cholil Ridwan. Bahkan, Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FUI), Muhammad Al Khathath, juga menyatakan dukungannya terhadap pencalonan pentolan FPI ini sebagai bagian dari kebangkitan seorang pemimpin Islam di NKRI. Bahkan dia optimis, jika Rizieq mencalonkan diri, dia akan dengan mudah mendapatkan suara sebanyak 30 persen. [merdeka]. Selain masalah pencapresan Habieb, munas ini sebenarnya merupakan evaluasi kinerja ormas Islam sejak berdiri 15 tahun silam. Kali ini, FPI bertekad membawa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk menerapkan syariat Islam.

Memang secara pribadi tidak ada yang buruk dengan rencana penegakan hukum syariat demi berjalannya stabilitas moral di lingkungan masyarakat. Akan tetapi Indonesia bukanlah Negara yang berdiri atas tumpuan satu agama di dalam menjalankan praktik hukumnya. Dalam satu agama itupun terdapat berbagai macam aliran yang menyebabkan munculnya syariat hukum yang berbeda juga. Gejala pertentangan tersebut faktanya sudah menimbulkan berbagai macam dampak yang cukup signifikan. Padahal sistem syariat belum pernah diterapkan secara penuh, melainkan hanya terhadap kepentingan beberapa kelompok masyarakat tertentu.

Seperti perlakuan diskriminatif terhadap para pengikut Syiah, Ahmadiyah, serta aliran-aliran lain yang tidak satu arus dengan kelompok mayoritas. Kasus pembakaran dan pengrusakan tempat-tempat ibadah kaum minoritas seperti kristen dan agama-agama lainnya pun belum tuntas hingga kini. Tuntutan atas keadilan kepada pemerintah yang selama ini mereka perjuangkan ternyata belum mendapatkan tanggapan yang serius. Tidak salah memang ketika menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan, setiap warga negara berhak mencalonkan diri sebagai Presiden, termasuk Rizieq Shihab. Namun sepertinya kita tak bisa lupa akan sederet catatan merah yang pernah dilakukan oleh FPI terhadap masyarakat. Kasus kekerasan dan pengrusakan atas nama pemberantasan maksiat dan penegakan agama kini seolah menjadi sesuatu yang enteng dan tidak perlu dipermasalahkan. Kekerasan adalah sesuatu yang dibenarkan karena menyangkut kebenaran salah satu pihak tanpa memperdulikan kepentingan pihak yang lainnya. Sangat disayangkan mengingat tokoh-tokoh pendukung pencapresan Habib ini adalah mereka yang berjuang dengan mengatas-namakan Islam. Mereka tak sadar bahwa dengan sikapnya kali ini Islam akan semakin terpuruk akibat ketakutan masyarakat terhadap keberadaan FPI.

Jika menelaah dari sisi politis, sangat kecil kemungkinan akan ada partai yang mau melirik FPI dan Habib Rizieq untuk melenggang di kursi kepresidenan. Demokrasi yang dibawa FPI tak lebih hanya menyebarkan kecaman dan ketakutan di mata masyarakat. Apalagi kini FPI mulai melayangkan gugatan terhadap media-media karena dianggap telah menyebarkan fitnah. Dari awal saja mereka sudah berencana memboikot sarana kebebasan masyarakat untuk berpendapat, lalu bagaimana jika benar kedepannya Habib Rizieq menduduki kursi kepresidenan? Tentunya kita akan merasakan betapa kelamnya Indonesia yang hidup tanpa cahaya toleransi. Kekerasan akan mudah merajalela dengan mengatas-namakan hukum agama. Pemberontakan akan terjadi di mana-mana serta minoritas akan semakin terkucilkan dengan penindasan hukum mayoritas. Yang bisa kita lakukan adalah berharap saja wacana di atas hanyalah sebagai dagelan politik untuk meramaikan pesta demokrasi di negeri ini. Selebihnya kita kembalikan terhadap pemikiran diri kita masing-masing. Semoga negeri ini selalu mendapatkan limpahan Rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

-Maria Danurdara 23/8-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline